Selasa, 16 Juni 2009

SEKOLAH RAMAH OZON
Menyemai Budaya Ramah Ozon Di Sekolah
Dua puluh tahun lalu, tepatnya 16 September 1987, Protokol Montreal ditandatangani oleh 24 negara. Protokol Montreal adalah sebuah traktat internasional yang dirancang untuk melindungi lapisan ozon dengan meniadakan produksi sejumlah zat yang menjadi penyebab kerusakan ozon di atmosfer bumi atau BPO (bahan perusak ozon). Karena itulah, tanggal 16 September diperingati sebagai Hari Ozon Internasional
Keseriusan pemerintah Indonesia meratifikasi Protokol Montreal ditunjukkan dengan dikeluarkannya berbagai peraturan pemerintah (Keppres dan Peraturan Presiden) yang mengatur penggunaan berbagai senyawa kimia yang menjadi bahan perusak ozonProtokol Montreal mensyaratkan seluruh negara bekerja sama melaksanakan pengamatan, penelitian, dan pertukaran informasi guna memperoleh pemahaman yang lebih baik dan mengkaji dampak kegiatan manusia terhadap ozon, serta dampak penipisan lapisan ozon terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Lapisan ozon merupakan bagian dari atmosfer yang berada pada lapisan stratosfer (19-48 km) yang mengandung molekul-molekul ozon (O3). Ilmuwan Jerman, Christian Friedrich Schonbein, menjadi orang pertama yang mengamati ozon ini (www.e-smartschool.com). Ozon adalah molekul tipis sederhana yang terdiri dari tiga atom oksigen dan menjadi bagian kecil dari atmosfer Bumi. Lapisan ozon berfungsi sebagai penapis radiasi sinar ultraviolet B (UV B) dari matahari. Dalam jumlah terbatas UV B sangat diperlukan bagi kehidupan di Bumi. Namun dalam jumlah berlebih dapat menimbulkan dampak negatif bagi manusia, hewan, tanaman, maupun lingkungan. Berbagai masalah kesehatan dapat timbul akibat penipisan lapisan ozon, seperti katarak dan kanker kulit yang mematikan, dan bahkan perubahan gen Berdasarkan penelitian US Environmental Protection Agency pada tahun 1985 diketahui bahwa penipisan ozon sebesar 1 % akan menyebabkan penambahan sekitar 100.000 – 150.000 kasus katarak yang menyebabkan kebutaan (www.pdpersi.co.id).
Menurut Dr. dr. Nila F. Moeloek, sinar UV B intensitas tinggi menyebabkan penurunan daya tahan tubuh manusia, sehingga mudah terserang penyakit, gangguan saluran pernapasan, hujan asam, dan memicu reaksi kimia yang menghasilkan asap beracun (Kompas Jateng, 15 September 2007: A). Di laut, radiasi UV B yang menembus lapisan ozon berakibat parah. Populasi plankton yang menjadi sumber utama jejaring makananorganisme laut dapat musnah, sehingga menimbulkan akibat berantai pada kehidupan di laut.Dampak lain yang tidak kalah mencemaskan dengan terjadinya penipisan lapisan
Ozon adalah turunnya kemampuan sejumlah organisme menyerap gas karbondioksida (CO2), yang merupakan salah satu gas rumah kaca pemicu terjadinya pemanasan global. Lapisan ozon berada dalam situasi kritis manakala konsentrasinya turun dibawah 220 DU (Dobson Unit). Penyebab utamanya adalah gas chlorine yang berasal dari senyawa CFC (chloro fluor carbon) dan gas bromine yang berasal dari senyawa methyl bromide dan halon. Hipotesis mengenai rusaknya lapisan ozon akibat CFC disampaikan oleh Sherwood Rowland dan Mario Molina dari University of California pada tahun 1974. Tuduhan mereka terhadap CFC ternyata sempat tidak ditanggapi dalam Vienna Convention. Verifikasi kerusakan lapisan ozon ini mencapai puncaknya pada tahun 1985 saat Farman dan kawan-kawan mempublikasikan hasil pengukuran yang menunjukkan rendahnya konsentrasi ozon di atas Antartika, sehingga muncullah istilah lubang ozon (ozone hole). Sejak ditemukannya fenomena penipisan lapisan ozon, luas daerah yang memiliki konsentrasi ozon kurang dari 220 DU terus membesar. Pada tahun 2004, NASA melaporkan bahwa lubang ozon di atas Antartika (Kutub Selatan) telah mencapai 28 juta km², yang berarti lebih dari dua kali lipat luas Antartika itu sendiri (Yuli Setyo I., 2007).
Selain CFC dan halon, bahan kimia lain yang mengakibatkan kerusakan pada lapisan ozon adalah karbon tetrakhlorida, metil khlorofom, dan metil bromida. Bahan CFC yang biasa digunakan adalah CFC-11, CFC-12, CFC-113, CFC-114, dan CFC-115 dalam produksi almari es, AC ruang dan mobil, serta untuk membuat berbagai jenis produk, seperti kasur busa, bahan isolasi bangunan, bumper mobil, dan sebagainya. CFC juga digunakan sebagai bahan pelarut, propelan, dan styrofoam wadah makanan. Halon digunakan sebagai bahan pemadam api, yaitu halon 1211 dan 2402 disemprotkan ke arah api, sedangkan halon 1301 dimasukkan dalam ruangan. Karbon tetrakhlorida yang memiliki daya rusak ozon setara dengan CFC digunakan pada sejumlah besar jenis pestisida, pelarut karet sintetis, pembersih logam, alat dry cleaning, dan pembasmi gulma. Metil khloroform digunakan pada industri baja, pencucian logam, pembersih semikonduktor, dan pembuatan fluorocarbon serta bahan kimia turunannya. Metil bromida digunakan pada fumigasi tanah atau produk-produk pertanian yang akan diekspor maupun diimpor.
Sekolah Ramah Ozon
Ozone friendly atau ramah ozon oleh Ninong Komala (2007) diartikan sebagai segala tindakan atau perilaku individu untuk mengurangi dan mengeliminasi pengaruh terhadap lapisan ozon yang disebabkan oleh produk yang dibeli individu. Senada dengan pendapat tersebut, sekolah ramah ozon adalah sekolah beserta segala komponennya yang selalu mempertimbangkan dan berusaha mengurangi kerusakan yang timbul akibat penggunaan bahan perusak ozon (BPO). Produk yang diharapkan dari sekolah ramah ozon adalah individu ramah ozon. Sebagaimana di negara berkembang lainnya, struktur penduduk Indonesia berkecenderungan membentuk struktur piramida. Artinya, penduduk usia muda mendominasi total penduduk Indonesia. Umumnya mereka masih berada di bangku sekolah, sehingga sekolah mempunyai posisi strategis dalam upaya mewujudkan manusia ramah ozon. Untuk mewujudkan sekolah ramah ozon, strategi yang ditempuh dapat dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu usaha jangka pendek dan usaha jangka panjang. Yang dimaksud usaha jangka pendek adalah usaha masyarakat sekolah yang segera dapat dilaksanakan dan dalam waktu relatif singkat dapat dirasakan manfaatnya, meski hanya bersifat lokal. Usaha yang dapat dilakukan di antaranya adalah, pertama, mendesain semua ruangan, baik ruang kepala sekolah, ruang guru, maupun kelas siswa, tetap nyaman digunakan tanpa menambah AC pada ruangan tersebut. Ventilasi yang lebar menjadi alternatif dalam desain tersebut. Usaha kedua yang dapat ditempuh adalah selalu menggunakan produk-produk berlabel Free CFC/Non CFC, seperti penggunaan lemari es, dispenser, tabung pemadam kebakaran, dan sebagainya. Ketiga, mengingatkan masyarakat sekolah untuk hanya menggunakan deodoran oles atau deodoran cair yang disemprotkan secara mekanis dengan tenaga pegas. Menghindari penggunaan pestisida kimiawi merupakan usaha keempat yang dapat dilakukan. Dengan mengaktifkan kegiatan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) atau proses pembelajaran biologi sebagai motornya, Masyaraka sekolah didorong untuk menemukan pestisida alami, sehingga dapat menekan penggunaan metil bromida dan karbon tetrakhlorida yang termasuk dalam kategori BPO.
Usaha kelima yang dapat dilakukan adalah dengan penghijauan lingkungan sekolah dengan tamanisasi. Selain berdampak estetis, pembuatan taman sekolah berdampak pula terhadap iklim lokal di sekolah tersebut. Vegetasi yang ditanam mampu menyerap gas karbondioksida (CO2), sehingga dampak penipisan ozon yang menyebabkan kemampuan vegetasi menyerap CO2 semakin berkurang dapat tergantikan. Yang dimaksud usaha jangka panjang adalah usaha yang hasilnya tidak dapat dirasakan dengan cepat, tetapi baru dapat dirasakan dalam jangku waktu yang relatif lama. Hal ini disebabkan karena upaya ini berhubungan dengan perubahan sikap dan perilaku seseorang melalui proses pendidikan. Meski begitu, usaha ini sangat penting dilakukan. Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (1988) dan Preston (1992) pun menyarankan agar pembinaan sikap dan norma-norma perilaku penduduk terhadap lingkungan hidupnya mendapat perhatian yang cukup.
Hubungan antara manusia dengan lingkungan dapat dilukiskan dengan baik oleh Backler melalui Doktrin Pengambilan Keputusan. Menurut doktrin tersebut, lingkungan alami merupakan titik tolak dan sumber informasi sebagaimana terlihat manusia. Setiap individu mejadi seorang pengambil keputusan. Bagaimana informasi itu diamati dan diartikan dengan tepat sangat ditentukan oleh latar belakang pembuat keputusan, seperti pengalaman, sikap terhadap alam, nilai dan norma yang berlaku, dan sebagainya. Jadi keputusan yang diambil tidak didasarkan pada naluri semata, melainkan melalui pertimbangan-pertimbangan. Keputusan yang diambil akan mempengaruhi dan mengubah lingkungan alam, sehingga muncullah informasi baru yang akan menyebabkan proses pengambilan keputusan yang baru pula. Senada dengan hal tersebut, Lisna Lubis (1996) menyatakan tinggi rendahnya derajat partisipasi seseorang dalam berbagai hubungan yang bernilai positif dengan lingkungannya dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, faktor kognitif yang dipunyai, meliputi pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis mengenai lingkungan hidup dan fungsinya dalam kehidupan manusia. Kedua, faktor afektif yang diembannya, seperti rasa keindahan, tanggung jawab, serta sikap dan penilaian yang diberikan kepada lingkungan. Faktor ketiga adalah faktor psikomotorik, berupa kemampuan dan penguasaan, serta kesempatan melaksanakan tindakan-tindakan yang langsung berhubungan dengan lingkungan. Disekolah terjadi proses enkulturasi, yaitu proses pembudayaan terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya. Oleh karena sikap terhadap alam, nilai dan norma yang berlaku, pantangan, dan pengetahuan seseorang sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan, maka pendidikan di sekolahmenempati posisi strategis sebagai tempat persemaian manusia-manusi ramah ozon. Pada akhirnya, kesepakatan-kesepakatan internasional dalam upaya melestarikan fungsi ozon bagi kehidupan di Bumi dapat dipercepat pencapaiannya. Lebih dari itu, manusia ramah ozon akan menjadi insan yang bertanggung jawab atas kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Ia bukan insan yang menyisakan masalah lingkungan kepada anak cucunya.
Artikel Biologi 3

PENGARUH UU BHP TERHADAP KONDISI PENDIDIKAN SAAT INI

Pada tanggal 17 Desember 2008, akhirnya Komisi X DPR RI mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pertanyaanya, apa yang sesungguhnya melandasi sikap pemerintah untuk membuat mengesahkan UU BHP? Apa yang membuat ada perbedaan di antara UU PT-BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan UU BHP? Apakah UU BHP adalah jawaban atas permasalahan-permasalahan pada UU PT-BHMN (penyempurnaan)? Satu hal yang menarik di sini, pihak pemerintah menggunakan proporsi 2/3 seluruh biaya pendidikan yang akan ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedangkan sisanya sebanyak 1/3 dari seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh masyarakat. Adalagi kemudian disebutkan apabila institusi pendidikan sudah diharuskan untuk menyusun laporan keuangan konsolidasi seperti halnya pada perusahaan-perusahaan komersial. Jika praktek BHMN hanya terbatas pada lingkup perguruan tinggi negeri (PTN), maka BHP akan berlaku untuk semua institusi pendidikan dasar (termasuk Madrasah). Latar Belakang sebelum terbentuknya RUU BHP, perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia sudah menggunakan badan hukum yang dikenal PT-BHMN sejak tahun 2000. Permasalahannya, bentuk badan hukum seperti BHMN dianggap masih masih memiliki kekurangan terutama pada aspek pengaturan sumber pendanaan. Kontribusi pemerintah sama sekali tidak disebutkan, kecuali hanya membahas soal penyelesaian status aset kepemilikan. Bentuk badan hukum seperti BHMN hanya berlaku terbatas di lingkungan perguruan tinggi negeri. Sekalipun demikian, beberapa sekolah di tingkat pendidikan dasar sudah mulai disosialisasikan sistem yang berlaku dalam BHMN. RUU BHP yang disahkan oleh DPR melalui Komisi X tanggal 17 Desember 2008 sesungguhnya melengkapi kekurangan yang tidak disebutkan pada BHMN. Apabila lingkup BHMN masih terbatas pada perguruan tinggi negeri, maka BHP diperluas hingga pada tingkat pendidikan dasar.
Menurut pihak Komisi X DPR RI, keberadaan RUU BHP diharapkan akan mampu menghapus praktek komersialisasi pendidikan yang selama ini terjadi pada BHMN. Dalam RUU BHP telah di atur tentang sumber pendanaan pendidikan di mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan menanggung sebesar 2/3 dari total biaya pendidikan seperti yang tertera pada Bab V, Pasal 33 dan 34, Pendanaan (berdasarkan RUU BHP tanggal 5 Desember 2008). Dalam Pasal 34, ayat 5 (sekarang Pasal 41, ayat 7) disebutkan jika anak didik hanya menanggung 1/3 dari seluruh biaya operasional. Ditambahkan pula pada Pasal 38 bahwa BHP mengalokasikan beasiswa kepada sedikitnya 20% dari seluruh peserta didik. Tidak ada penjelasan per pasal yang menerangkan mengenai besarnya angka 20% dari total populasi mahasiswa. Sebelumnya, tidak ada kewajiban bagi lembaga pendidikan untuk menyampaikan ataupun mempublikasikan laporan keuangan. Dalam RUU BHP Bab VI Tentang Akuntabilitas dan Pengawasan, Pasal 40 (ayat 4) disebutkan jika institusi pendidikan diharuskan menyusun laporan manajemen dan laporan keuangan. Dalam Pasal 43, Ayat 1 ditegaskan jika laporan keuangan yang dimaksudkan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan BHP yang disusun mengikuti standar akuntansi yang berlaku. Pada Pasal 43, Ayat 2 disebutkan jika laporan keuangan BHP merupakan laporan keuangan tahunan konsolidasi. Di dalam Pasal 43, Ayat 1, laporan keuangan tahunan BHP diaudit oleh akuntan publik. Disebutkan pula pada Pasal 43, Ayat 3 bahwa laporan keuangan BHP harus dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pemuatan di media cetak berbahasa Indonesia dan penempatan di papan pengumuman resmi setiap satuan pendidikan yang dikelolanya.
Telaah atas RUU BHP ada ketidakjelasan dalam merumuskan istilah otonomi dan kemandirian pendidikan. Di satu sisi, sumber pendanaan disebutkan sebesar 2/3 berasal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di sisi lain, pihak institusi pendidikan masih diberikan keleluasaan untuk memperoleh sumber pendanaan lain seperti sumbangan pendidikan, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan penerimaan lain yang sah (Bab V – Pendanaan, Pasal 37, Ayat 1). Pertanyaannya, jika dimisalkan sumber pendanaan lain bisa terakumulasi sebesar separuh dari besarnya total biaya operasional pendidikan, bagaimana rumusan untuk menentukan 2/3 pendanaan yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan 1/3 yang ditanggung oleh anak didik?.
Bisa saja pihak pengelola pendidikan akan mengelola hasil pendanaan lain-lain sebesar 35 untuk keperluan pembangunan ataupun pengembangan infrastruktur pendidikan. Sekalipun demikian, perumusannya akan lebih cenderung tidak menguntungkan anak didik secara ekonomi. Sekalipun disebutkan kata nirlaba, akan tetapi tetap tidak bisa mengabaikan apabila dalam pelaksanaannya nanti cenderung untuk orientasi memberikan keuntungan (benefit) kepada pihak pengelola pendidikan.
Dalam RUU BHP juga tidak diperjelas mengenai pengertian biaya operasional pendidikan. Apakah yang dimaksudkan adalah biaya penyelenggaraan pendidikan untuk per anak didik atau akumulasi dari keseluruhan biaya penyelenggaraan institusi pendidikan? Perlu diketahui, apabila pihak institusi pendidikan membayar cicilan utang, maka cicilan utang tadi sesungguhnya adalah bagian dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Misal saja cicilan utang untuk pembangunan infrastruktur pendidikan seperti bangunan, lab, perpustakaan, dan perbaikan sarana. Apabila mengikuti kaidah yang berlaku dalam akuntansi, biaya operasional tersusun dari berbagai macam komponen yang penulisannya dalam laporan keuangan dipisahkan berdasarkan aturan penyusunan laporan keuangan konsolidasi. Kaidah dalam penyusunan laporan keuangan tidak seperti menyebutkan besarnya biaya operasional, akan tetapi mengikuti penyusunan kaidah laporan keuangan konsolidasi. Jika yang dimaksudkan biaya operasional pendidikan adalah biaya operasional pada laporan keuangan konsolidasi, maka pengawasannya akan semakin sulit. Lalu siapa yang selanjutnya akan mengawasi angka 1/3 atau 2/3?. Angka 20% dari jumlah populasi anak didik yang mendapatkan beasiswa juga tidak jelas. Apakah angka 20% tadi sudah dipertimbangkan memenuhi asas keberpihakan kepada mereka yang lemah (option for the poor)? Ataukah angka 20% hanyalah untuk melengkapi keseluruhan penyusunan RUU BHP?.Penyebab Pendidikan Mahal?
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) yang disetujui DPR pada 17 Desember 2008 telah menuai reaksi dari mahasiswa, guru, dan pemerhati pendidikan di beberapa tempat. Pada dasarnya, reaksi tersebut disebabkan dua hal. Pertama, pemahaman yang belum utuh terhadap UUBHP. Kedua, dugaan bahwa BHP identik dengan praktik beberapa PTN dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memasang tarif SPP yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Apakah UUBHP menyebabkan pendidikan menjadi mahal, sehingga masyarakat miskin tidak mampu membayar SPP. Menurut Pasal 41 Ayat (1) UUBHP, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHP Pemerintah (di bawah Depag) dan BHP Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi para siswa. Jadi, UUBHP menjamin bahwa negara menanggung semua biaya pendidikan untuk wajib belajar 9 tahun atau siswa tidak perlu membayar SPP. Untuk siswa pendidikan menengah, Pasal 41 Ayat (8) UUBHP menjamin biaya pendidikan yang ditanggung oleh seluruh siswa pada BHPP atau BHPPD paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP atau BHPPD tersebut. Kalimat "paling banyak" berarti dapat kurang dari sepertiga hingga tidak dipungut SPP. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya, menanggung sisanya, yaitu paling sedikit sepertiga biaya operasional BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah. Kalimat "paling sedikit" berarti dapat lebih dari sepertiga hingga mendanai seluruh biaya operasional, bergantung pada seberapa besar kemampuan siswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya membayar SPP.
Bagi pendidikan tinggi, Pasal 41 Ayat (9) UUBHP menetapkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP tersebut. Sedangkan menurut Pasal 41 Ayat (6) UUBHP, pemerintah bersama BHPP menanggung sisanya, yaitu paling sedikit 1/2 biaya operasional BHPP tersebut. Kalimat "paling banyak", berarti dapat kurang dari sepertiga hingga tidak dipungut biaya SPP. Sedangkan kalimat "paling sedikit" berarti dapat lebih dari 1/2 hingga mendanai seluruh biaya operasional BHPP tersebut, bergantung pada seberapa besar kemampuan mahasiswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya untuk membayar SPP.
Efek Untuk Universitas Swasta secara langsung sulit untuk melihat apakah benar-benar universitas swasta terkena pengaruh dari kebaradaan UU BHP ini. Hal ini karena sejak dulu universitas swasta tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah dalam menghidupkan aktifitasnya seperti yang dilakukan oleh PTN. Meskipun begitu, mau tidak mau UU BHP ini juga bisa berdampak terhadap keberadaan universitas swasta dimana calon mahasiswa akan semakin bingung untuk menentukan kuliah yang akan dia tuju hal ini karena baik PTS maupun PTN semuanya mahal. Hal ini dapat menjadi bumerang tersendiri bagi PTS karena dipastikan calon mahasiswa akan lebih memilih PTN dibandingkan dengan PTS karena nama besar yang dimiliki oleh PTN tersebut meskipun dari segi biaya hampir sama. Sulit untuk menilai apakah RUU BHP memiliki kecenderungan untuk mengkomersilkan pendidikan nasional. Ada beberapa hal di dalam perancangan UU BHP yang masih perlu diberikan penjelasan tambahan. Perlu diketahui jika RUU BHP sesungguhnya adalah upaya untuk mempertahankan keberlangsungan pendidikan nasional dengan men-swastakan pendidikan nasional tersebut. Sistem seperti ini hampir tidak berbeda dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya. Pada akhirnya, sekalipun disebutkan peran pemerintah (sebagai salah satu sumber pendanaan) akan menjadi pilihan pelengkap. Perlu diketahui pula apabila RUU BHP merupakan salah satu bentuk tindak lanjut dari UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 24 dan 60 yang menyebutkan apabila institusi pendidikan masih diberikan keleluasaan (otonomi) untuk mengelola pendidikan, termasuk di dalam BHP mengelola sumber-sumber pendanaan.
Langkah bijaksana untuk ke depan adalah terus melakukan evaluasi dan pengawasan karena UU BHP yang sudah disahkan tadi masih perlu mendapatkan perbaikan ataupun penyempurnaan. Jika penyusunannya dikatakan tergesas-gesa, mungkin ada benarnya karena dalam UU BHP mulai diberlakukan penyusunan laporan keuangan tahunan. Ini berarti, jika harus dilakukan pra kondisi, maka pelaksanaannya harus dimulai sebelum akhir tahun. Satu hal dari pengesahan RUU BHP adalah substansinya yang belum menyelesaikan ataupun menjawab permasalahan mendasar pada BHMN. (Tim Laput Spora/Diolah/Dari Berbagai Sumber)








Artikel Pendidikan 1
PENGARUH UU BHP TERHADAP KONDISI PENDIIDKAN DI INDONESIA

Pada tanggal 17 Desember 2008, akhirnya Komisi X DPR RI mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pertanyaanya, apa yang sesungguhnya melandasi sikap pemerintah untuk membuat mengesahkan UU BHP? Apa yang membuat ada perbedaan di antara UU PT-BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan UU BHP? Apakah UU BHP adalah jawaban atas permasalahan-permasalahan pada UU PT-BHMN (penyempurnaan)? Satu hal yang menarik di sini, pihak pemerintah menggunakan proporsi 2/3 seluruh biaya pendidikan yang akan ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedangkan sisanya sebanyak 1/3 dari seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh masyarakat. Adalagi kemudian disebutkan apabila institusi pendidikan sudah diharuskan untuk menyusun laporan keuangan konsolidasi seperti halnya pada perusahaan-perusahaan komersial. Jika praktek BHMN hanya terbatas pada lingkup perguruan tinggi negeri (PTN), maka BHP akan berlaku untuk semua institusi pendidikan dasar (termasuk Madrasah). Latar Belakang sebelum terbentuknya RUU BHP, perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia sudah menggunakan badan hukum yang dikenal PT-BHMN sejak tahun 2000. Permasalahannya, bentuk badan hukum seperti BHMN dianggap masih masih memiliki kekurangan terutama pada aspek pengaturan sumber pendanaan. Kontribusi pemerintah sama sekali tidak disebutkan, kecuali hanya membahas soal penyelesaian status aset kepemilikan. Bentuk badan hukum seperti BHMN hanya berlaku terbatas di lingkungan perguruan tinggi negeri. Sekalipun demikian, beberapa sekolah di tingkat pendidikan dasar sudah mulai disosialisasikan sistem yang berlaku dalam BHMN. RUU BHP yang disahkan oleh DPR melalui Komisi X tanggal 17 Desember 2008 sesungguhnya melengkapi kekurangan yang tidak disebutkan pada BHMN. Apabila lingkup BHMN masih terbatas pada perguruan tinggi negeri, maka BHP diperluas hingga pada tingkat pendidikan dasar.
Menurut pihak Komisi X DPR RI, keberadaan RUU BHP diharapkan akan mampu menghapus praktek komersialisasi pendidikan yang selama ini terjadi pada BHMN. Dalam RUU BHP telah di atur tentang sumber pendanaan pendidikan di mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan menanggung sebesar 2/3 dari total biaya pendidikan seperti yang tertera pada Bab V, Pasal 33 dan 34, Pendanaan (berdasarkan RUU BHP tanggal 5 Desember 2008). Dalam Pasal 34, ayat 5 (sekarang Pasal 41, ayat 7) disebutkan jika anak didik hanya menanggung 1/3 dari seluruh biaya operasional. Ditambahkan pula pada Pasal 38 bahwa BHP mengalokasikan beasiswa kepada sedikitnya 20% dari seluruh peserta didik. Tidak ada penjelasan per pasal yang menerangkan mengenai besarnya angka 20% dari total populasi mahasiswa. Sebelumnya, tidak ada kewajiban bagi lembaga pendidikan untuk menyampaikan ataupun mempublikasikan laporan keuangan. Dalam RUU BHP Bab VI Tentang Akuntabilitas dan Pengawasan, Pasal 40 (ayat 4) disebutkan jika institusi pendidikan diharuskan menyusun laporan manajemen dan laporan keuangan. Dalam Pasal 43, Ayat 1 ditegaskan jika laporan keuangan yang dimaksudkan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan BHP yang disusun mengikuti standar akuntansi yang berlaku. Pada Pasal 43, Ayat 2 disebutkan jika laporan keuangan BHP merupakan laporan keuangan tahunan konsolidasi. Di dalam Pasal 43, Ayat 1, laporan keuangan tahunan BHP diaudit oleh akuntan publik. Disebutkan pula pada Pasal 43, Ayat 3 bahwa laporan keuangan BHP harus dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pemuatan di media cetak berbahasa Indonesia dan penempatan di papan pengumuman resmi setiap satuan pendidikan yang dikelolanya.
Telaah atas RUU BHP ada ketidakjelasan dalam merumuskan istilah otonomi dan kemandirian pendidikan. Di satu sisi, sumber pendanaan disebutkan sebesar 2/3 berasal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di sisi lain, pihak institusi pendidikan masih diberikan keleluasaan untuk memperoleh sumber pendanaan lain seperti sumbangan pendidikan, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan penerimaan lain yang sah (Bab V – Pendanaan, Pasal 37, Ayat 1). Pertanyaannya, jika dimisalkan sumber pendanaan lain bisa terakumulasi sebesar separuh dari besarnya total biaya operasional pendidikan, bagaimana rumusan untuk menentukan 2/3 pendanaan yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan 1/3 yang ditanggung oleh anak didik?.
Bisa saja pihak pengelola pendidikan akan mengelola hasil pendanaan lain-lain sebesar 35 untuk keperluan pembangunan ataupun pengembangan infrastruktur pendidikan. Sekalipun demikian, perumusannya akan lebih cenderung tidak menguntungkan anak didik secara ekonomi. Sekalipun disebutkan kata nirlaba, akan tetapi tetap tidak bisa mengabaikan apabila dalam pelaksanaannya nanti cenderung untuk orientasi memberikan keuntungan (benefit) kepada pihak pengelola pendidikan.
Dalam RUU BHP juga tidak diperjelas mengenai pengertian biaya operasional pendidikan. Apakah yang dimaksudkan adalah biaya penyelenggaraan pendidikan untuk per anak didik atau akumulasi dari keseluruhan biaya penyelenggaraan institusi pendidikan? Perlu diketahui, apabila pihak institusi pendidikan membayar cicilan utang, maka cicilan utang tadi sesungguhnya adalah bagian dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Misal saja cicilan utang untuk pembangunan infrastruktur pendidikan seperti bangunan, lab, perpustakaan, dan perbaikan sarana. Apabila mengikuti kaidah yang berlaku dalam akuntansi, biaya operasional tersusun dari berbagai macam komponen yang penulisannya dalam laporan keuangan dipisahkan berdasarkan aturan penyusunan laporan keuangan konsolidasi. Kaidah dalam penyusunan laporan keuangan tidak seperti menyebutkan besarnya biaya operasional, akan tetapi mengikuti penyusunan kaidah laporan keuangan konsolidasi. Jika yang dimaksudkan biaya operasional pendidikan adalah biaya operasional pada laporan keuangan konsolidasi, maka pengawasannya akan semakin sulit. Lalu siapa yang selanjutnya akan mengawasi angka 1/3 atau 2/3?. Angka 20% dari jumlah populasi anak didik yang mendapatkan beasiswa juga tidak jelas. Apakah angka 20% tadi sudah dipertimbangkan memenuhi asas keberpihakan kepada mereka yang lemah (option for the poor)? Ataukah angka 20% hanyalah untuk melengkapi keseluruhan penyusunan RUU BHP?.Penyebab Pendidikan Mahal?
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) yang disetujui DPR pada 17 Desember 2008 telah menuai reaksi dari mahasiswa, guru, dan pemerhati pendidikan di beberapa tempat. Pada dasarnya, reaksi tersebut disebabkan dua hal. Pertama, pemahaman yang belum utuh terhadap UUBHP. Kedua, dugaan bahwa BHP identik dengan praktik beberapa PTN dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memasang tarif SPP yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Apakah UUBHP menyebabkan pendidikan menjadi mahal, sehingga masyarakat miskin tidak mampu membayar SPP. Menurut Pasal 41 Ayat (1) UUBHP, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHP Pemerintah (di bawah Depag) dan BHP Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi para siswa. Jadi, UUBHP menjamin bahwa negara menanggung semua biaya pendidikan untuk wajib belajar 9 tahun atau siswa tidak perlu membayar SPP. Untuk siswa pendidikan menengah, Pasal 41 Ayat (8) UUBHP menjamin biaya pendidikan yang ditanggung oleh seluruh siswa pada BHPP atau BHPPD paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP atau BHPPD tersebut. Kalimat "paling banyak" berarti dapat kurang dari sepertiga hingga tidak dipungut SPP. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya, menanggung sisanya, yaitu paling sedikit sepertiga biaya operasional BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah. Kalimat "paling sedikit" berarti dapat lebih dari sepertiga hingga mendanai seluruh biaya operasional, bergantung pada seberapa besar kemampuan siswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya membayar SPP.
Bagi pendidikan tinggi, Pasal 41 Ayat (9) UUBHP menetapkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP tersebut. Sedangkan menurut Pasal 41 Ayat (6) UUBHP, pemerintah bersama BHPP menanggung sisanya, yaitu paling sedikit 1/2 biaya operasional BHPP tersebut. Kalimat "paling banyak", berarti dapat kurang dari sepertiga hingga tidak dipungut biaya SPP. Sedangkan kalimat "paling sedikit" berarti dapat lebih dari 1/2 hingga mendanai seluruh biaya operasional BHPP tersebut, bergantung pada seberapa besar kemampuan mahasiswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya untuk membayar SPP.
Efek Untuk Universitas Swasta secara langsung sulit untuk melihat apakah benar-benar universitas swasta terkena pengaruh dari kebaradaan UU BHP ini. Hal ini karena sejak dulu universitas swasta tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah dalam menghidupkan aktifitasnya seperti yang dilakukan oleh PTN. Meskipun begitu, mau tidak mau UU BHP ini juga bisa berdampak terhadap keberadaan universitas swasta dimana calon mahasiswa akan semakin bingung untuk menentukan kuliah yang akan dia tuju hal ini karena baik PTS maupun PTN semuanya mahal. Hal ini dapat menjadi bumerang tersendiri bagi PTS karena dipastikan calon mahasiswa akan lebih memilih PTN dibandingkan dengan PTS karena nama besar yang dimiliki oleh PTN tersebut meskipun dari segi biaya hampir sama. Sulit untuk menilai apakah RUU BHP memiliki kecenderungan untuk mengkomersilkan pendidikan nasional. Ada beberapa hal di dalam perancangan UU BHP yang masih perlu diberikan penjelasan tambahan. Perlu diketahui jika RUU BHP sesungguhnya adalah upaya untuk mempertahankan keberlangsungan pendidikan nasional dengan men-swastakan pendidikan nasional tersebut. Sistem seperti ini hampir tidak berbeda dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya. Pada akhirnya, sekalipun disebutkan peran pemerintah (sebagai salah satu sumber pendanaan) akan menjadi pilihan pelengkap. Perlu diketahui pula apabila RUU BHP merupakan salah satu bentuk tindak lanjut dari UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 24 dan 60 yang menyebutkan apabila institusi pendidikan masih diberikan keleluasaan (otonomi) untuk mengelola pendidikan, termasuk di dalam BHP mengelola sumber-sumber pendanaan.
Langkah bijaksana untuk ke depan adalah terus melakukan evaluasi dan pengawasan karena UU BHP yang sudah disahkan tadi masih perlu mendapatkan perbaikan ataupun penyempurnaan. Jika penyusunannya dikatakan tergesas-gesa, mungkin ada benarnya karena dalam UU BHP mulai diberlakukan penyusunan laporan keuangan tahunan. Ini berarti, jika harus dilakukan pra kondisi, maka pelaksanaannya harus dimulai sebelum akhir tahun. Satu hal dari pengesahan RUU BHP adalah substansinya yang belum menyelesaikan ataupun menjawab permasalahan mendasar pada BHMN.


Artikel Pendidikan 1
MENUNGGU MULTIPLIER EFFECT SERTIFIKASI PENDIDIK

Pelaksanaan program sertifikasi pendidik bagi sekitar 2.7 juta guru (dan juga dosen) kita di tanah air sampai saat ini telah memasuki tahun ke empat sejak dicanangkan tahun 2006 yang lalu. Menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Dr. Baedhowi, sampai akhir tahun 2008 sudah ada sekitar 360.000 orang guru kita yang sudah dinyatakan lulus program sertifikasi pendidik ini (baik yang lulus melalui penilaian portfolio maupun melalui pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Dan tahun 2009 ini, pemerintah merencanakan kuota 200.000 guru untuk mengikuti sertifikasi pendidik tahun ini.. Dengan demikian, sampai akhir tahun 2009, diperkirakan sudah ada sekitar 560.000 guru Indonesia yang sudah dan akan dinyatakan sebagai guru professional.
Sebagaimana tema besar yang melatarbelakangi kebijakan sertifikasi pendidik ini, bahwa program ini diharapkan bisa menjadi instrument penting dalam upaya kita meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita, maka harapannya tentu ketika seorang guru telah mendapat sertifikat sebagai pendidik professional, dia bisa mentransformasi diri menjadi seorang pendidik yang menunjukkan dan menjaga sikap profesionalismenya dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Dengan kata lain, seorang guru professional seharusnya adalah seorang yang memiliki empat kompetensi pendidik sebagaimana diamanahkan Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Kalau asumsi perubahan itu benar-benar terjadi, maka diyakini akan terjadi multiplier effect (efek berantai) yang luar biasa pada proses perbaikan dunia pendidikan kita di tanah air. Pengaruh paling diharapkan adalah akan semakin efetifnya proses pembelajaran di setiap sekolah kita. Kita berharap setelah program sertifikasi ini kita akan menemukan para pendidik yang mencurahkan segala potensinya dalam melaksanakan tugas kependidikannya; para guru yang bergairah, bersemangat, memiliki etos kerja tinggi, disiplin, paham akan tugasnya, dan yang paling penting adalah para guru yang mencintai profesi kependidikannya.
Diyakini, suasana positif ini akan mengalir ke ruang-ruang kelas. Ketika para pendidik telah mencintai profesi kependidikannya dalam maknanya yang sebenarnya, kita akan menemukan ruang-ruang kelas yang hidup karena dipimpin oleh seorang pendidik professional, seorang guru yang kaya dengan berbagai ide kreatif tentang bagaimana menjadikan proses pembelajaran semakin efektif dan menarik, seorang guru yang tak pernah kehabisan cara dalam membantu anak didik mereka mencapai target-target pembelajaran, seorang guru yang tidak hanya bisa berperan sebagai sumber ilmu, tapi juga sebagai sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi para siswanya dalam menggapai asa dan masa depan mereka yang lebih baik.
Efek positif berantai itu tidak hanya akan terasa di sekolah atau di ruang-ruang kelas, tapi juga akan terasa di lingkungan luar sekolah atau di tengah masyarakat. Karena pendidik professional itu juga ditandai dengan kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial, maka kita nanti akan menemukan banyak guru yang tidak hanya berperan sebagai sumber inspirasi bagi siswanya di sekolah, tapi juga bagi masyarakat di lingkungan dimana dia berada. Dia akan menjadi model yang akan ditiru masyarakatnya, dijadikan salah satu sumber referensi penting dalam bermasyarakat. Bukan tak mungkin, kita akan bertemu dengan guru yang secara aktif berperan mengarahkan perubahan (director of change) masyarakatnya menuju masa depan yang lebih baik. Lebih jauh, tentu suasana seperti ini akan berakibat pada semakin kuatnya pesona dan martabat profesi guru di tengah masyarakat. Profesi guru akan kembali menempati posisi terhormat di tengah masyarakat Indonesia. Profesi ini tidak akan lagi dipandang ‘seblah mata’ oleh sebagian orang. Dan kalau suasana seperti ini benar-benar tercipta, hampir bisa dipastikan bahwa profesi pendidik ini akan menjadi salah satu pilihan profesi yang sangat menarik bagi generasi muda cemerlang kita di masa datang.
Puncak dari multiplier effect yang kita harapkan tentu saja akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan nasional kita secara simultan dan signifikan. Secara berangsur tapi pasti, pendidikan kita akan semakin baik. Kualitas anak didik kita akan semakin membanggakan. Peringkat pendidikan kita di dunia akan semakin naik. Mayoritas anak bangsa ini akan memperoleh skill yang cukup untuk bisa survive di tengah kompetisi peradaban global yang semakin kuat. Dan pada saatnya nanti kita berharap bahwa kita betul-betul bisa merasakan bahwa kita berhak dan pantas duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa maju lainnya di dunia. Betulkah sudah ada perubahan? Di balik segala harapan di atas, pertanyaan mendasar yang sekarang penting kita jawab adalah, apakah betul mereka para pendidik yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi itu atau bahkan sudah menikmati tunjangan profesi pendidik benar-benar telah mentransformasi diri menjadi seorang pendidik yang professional? Apakah mereka yang sudah certified itu di lapangan sudah memperlihatkan dan membuktikan berbagai kompetensi yang telah kita bahas di atas?
Sebagai contoh dalam hal kompetensi pedagogis; sudahkah para certified educators itu menguasai dengan baik materi ajar mereka, mempersiapkan dengan baik kegiatan mengajar mereka, membuat silabus, membuat rencana pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif, dan melaksanakan penilaian sebagaimana dituntut oleh aturan perundangan yang berlaku?
Dalam hal kompetensi kepribadian, apakah mereka yang sudah menikmati tunjangan profesi pendidik itu benar-benar telah menjadi soerang neo educator, pendidik baru dengan darah, semangat, dan paradigma baru. Pendidik yang tidak hanya pintar mentranformasi knowledge kepada para peserta didiknya, tapi juga seorang yang dengan sadar dan terencana bisa mentransformasi nilai-nilai kebaikan kepada siswanya, dengan menunjukkan sikap dan kepribadian terpuji di hadapa para siswanya. Sudahkah mereka menjadi orang pertama yang mecontohkan betapa pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam proses pembelajaran, menghargai etos kerja, disiplin, menghormati orang lain, suka menolong, gemar membaca, tidak merokok, tidak terlambat, dan berbagai sikap dan kepribadian positif lainnya?
Pertanyaan seperti di atas harus terus disampaikan agar perubahan yang substansial itu benar-benar terjadi. Kita mesti khawatir kalau ternyata perubahan itu tak pernah ada, ataupun kalau ada, perubahan itu lebih banyak dalam hal artificial, seperti perubahan life style (gaya hidup) sebagian guru kita yang telah dinyatakan sebagai guru professional itu. Berubah dari seorang ‘oemar bakri’ yang sebelumnya datang ke sekolah dengan motor butut, menjadi seorang guru berdasi yang sekarang datang dengan menyetir mobil pribadi. Atau malah dari seorang yang sebelumnya telah menderita karena himpitan hutang kepada seorang yang semakin menderita karena menambah hutang baru untuk membeli aksesoris duniawi karena ada harapan sekian juta yang bisa diterima setiap bulan untuk menutupi hutang-hutang itu. Kalau ini yang terjadi, tentu sungguh sangat disayangkan.
Perlu Sistem Kontrol Kekhawatiran akan fenomena di atas sangat beralasan, karena sampai hari ini belum ada sistem baru yang bisa mengontrol kinerja para guru yang sudah disertifikasi ini. Karenanya, untuk mengantisipasi kekhwatiran di atas, urgen dan penting dipikirkan oleh pemerintah sebuah sistem kontrol di setiap lembaga pendidikan untuk memastikan (baca: melakukan assessment) secara berkala dan terukur terhadap kinerja para guru professional ini. Sepertinya, kewajiban mengajar minimal 24 jam yang selama ini dijadikan syarat administratif untuk mencairkan tunjangan profesi itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, sangat jauh dari cukup sebagai ‘alat bukti’ menilai kinerja seorang pendidik yang profesional. Menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada kepala sekolah untuk mengontrol kinerja guru professional ini juga beresiko, karena kadangkala kepala sekolah sendiri berada di dalam lingkaran masalah itu.
Pada tahap awal, pemerintah bisa mengoptimalkan peran para pengawas sekolah di lingkungan dinas pendidikan (atau di kantor Departemen Agama) dalam menjalankan kontrol ini. Para pengawas itu, selain melakukan pembinaan rutin kepada para guru, semestinya juga harus menjalankan fungsi kontrolnya kepada seorang guru. Para pengawas itu mesti memeriksa dan memastikan bahwa para guru kita di sekolah telah benar-benar memiliki kompetensi pedagogis, misalnya dengan memeriksa kelengkapan pengajaran setiap guru, mulai dari perencanaan, sampai evaluasi. Apabila diperlukan, lembar penilaian dari pengawas bisa dijadikan sebagai tambahan persyaratan administratif untuk mencairkan tunjangan profesi pendidik itu.
Pada jangka panjang perlu dibikin sistem kontrol yang lebih kuat dalam melakukan peniliaian terhadap kinerja dan atau rekam jejak aktifitas guru-guru ini di lapangan. Pembentukan lembaga baru semisal tim auditor independen yang secara berkala bekerja menilai kinerja para guru setelah disertifikasi dengan sistem kerja yang berbasis profesionalisme perlu dipikirkan. Tim independen ini nanti secara berkala melaporkan hasil ‘audit’ mereka, dan sangat mungkin mereka merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberhentikan pemberian tunjangan profesi pendidik kepada guru tertentu yang setelah diperiksa tak layak lagi menerimanya.
Dengan adanya sistem kontrol seperti ini, pemerintah bisa memastikan bahwa tunjangan profesi pendidik ini hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar berhak dan layak memperolehnya. Pada saat yang sama, kekhawatiran kita bahwa tidak terjadinya perubahan substansial di dunia pendidika kita barangkali bisa diminimalisir. Kalau tidak, harapan untuk menjadikan dunia pendidikan kita lebih baik hanya akan menjadi impian kosong kita. Kalau ini yang terjadi, tentu kucuran dana miliaran rupiah yang dianggarkan pemerintah untuk program sertifikasi pendidik ini akan menjadi sia-sia belaka. Dan kita tentu sama sekali tak ingin mimpi buruk ini terjadi. Wallahua’lam.
Artikel Pendidikan 2


REVITALISASI PENDIDIKAN KEMANUSIAAN


Ketika sendi-sendi kehidupan bangsa ini digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarkhi, destruktif, bahkan telah terkontaminasi “virus” disintegrasi sosial, kesadaran nurani kita mulai tersentuh akan pentingnya makna pendidikan hakiki. Banyak kalangan mulai melihat bahwa model pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan akan berdampak pada munculnya potensi konflik, chaos, dan ketegangan di tengah-tengah masyarakat.
Secara jujur mesti diakui, selama bertahun-tahun, dunia pendidikan kita terpasung di persimpangan jalan; tersisih di antara ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi nihil. Mereka telah menjadi sosok pribadi yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.
Dalam konteks yang demikian itu, pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, penjilat, hipokrit, hedonis, besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan hati, emosi, dan nurani. Tidaklah mengherankan jika kasus-kasus yang merugikan negara, KKN, misalnya, justru sering melibatkan orang-orang berdasi yang secara formal berpendidikan tinggi. Ini artinya, secara implisit, model pendidikan kita selama ini setidaknya telah memiliki andil terhadap merajalelanya ulah KKN yang menyebabkan negara kita tergolong sebagai salah satu negara di dunia yang cukup tinggi tingkat korupsinya.
Sementara itu, model pendidikan yang lebih memacu kecerdasan otak ketimbang emosi dinilai juga telah menimbulkan masalah tersendiri di lapisan masyarakat akar-rumput. Pendidikan dasar dan menengah yang idealnya mampu menjadi basis penyemaian dan penyuburan nilai-nilai luhur baku dan hakiki kepada siswa didik, menjadi sangat tidak berdaya akibat tidak relevannya antara tuntutan kurikulum dan kondisi lokal.
Bobot kurikulum yang telah dikemas secara monolitis dan sentralistis telah menyebabkan nilai-nilai kearifan lokal tidak bisa berkembang. Para peserta didik “dipaksa” menerima cekokan materi dan pengetahuan kognitif yang sangat jauh dengan pengalaman dan kenyataan mereka sehari-hari. Akibatnya, mereka menjadi kehilangan ruang berkreasi, kemerdekaan berprakarsa, dan mengembangkan jatidirinya. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru terjebak dalam atmosfer pendidikan yang kaku, membosankan, dan tanpa gairah. Suasana pendidikan yang kurang kondusif semacam itu jelas mengingkari makna dan hakikat pendidikan dalam memanusiakan manusia, membentuk manusia yang berpikir dan berjiwa merdeka, bebas dari tekanan dan paksaan.
Makna pendidikan yang hakiki merujuk pada sebuah kondisi yang mampu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka, tidak terbelenggu dalam suasana monoton, kaku, dan menegangkan. Diakui atau tidak, pendidikan kita selama ini belum sanggup melahirkan generasi yang utuh jatidirinya. Mereka memang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, nilai-nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, menjadi sirna.
Atmosfer pendidikan yang kurang kondusif semacam itu diperparah dengan situasi lingkungan yang serba permisif, apatis, dan masa bodoh. Pada sisi yang lain, institusi keluarga yang mestinya menjadi penanam nilai-nilai religi, kultural, dan kemanusiaan, dinilai juga telah tereduksi oleh berbagai kesibukan orang tua dalam memburu standar hidup dan gebyar materi. Persoalan pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan formal.
Beranjak dari konteks ini, memang tidak berlebihan kalau ada yang menilai bahwa maraknya konflik horisontal di berbagai penjuru tanah air seperti yang pernah, bahkan sering kita saksikan, salah satu penyebabnya ialah gagalnya institusi pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai pencetak generasi yang utuh lahir dan batin. Dunia pendidikan dinilai hanya sarat muatan kognitif, teoretis, dan penalaran, tanpa menyentuh aspek-aspek humaniora. Persoalan-persoalan moral dan budi pekerti menjadi luput dari perhatian. Lahan pendidikan humaniora dipersempit, bahkan dikepras, sedangkan muatan materi yang mengedepankan akal dan penalaran diberi bobot terlalu berlebihan.
Setelah era reformasi mulai menunjukkan titik terang dalam menguak tabir politik, ekonomi, dan hukum, sudah tiba saatnya untuk mengurai simpul dasar yang memasung tubuh pendidikan kita. Setidaknya, harus ada “kemauan politik” untuk melakukan revitalisasi pendidikan kemanusiaan, yakni pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang tinggi tingkat apresiasinya terhadap sikap jujur, adil, demokratis, rendah hati, sederhana, dan kreatif.
Pengalaman selama bertahun-tahun telah memberikan pelajaran berharga bahwa pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan hanya akan melahirkan manusia yang cerdas dan terampil, tetapi kehilangan hati nurani dan perasaan. Ini artinya, revitalisasi pendidikan kemanusiaan semakin urgen dan relevan untuk diimplementasikan di tingkat praksis agar tidak terapung-apung dalam bentangan slogan, retorika, dan jargon belaka.
Sungguh terasa ironis kalau bangsa kita yang selama ini dokenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi, mengagungkan keluhuran budi, dan kesantunan berperilaku, akhirnya terjebak menjadi bangsa bar-bar, “kanibal”, dan pendendam, hanya lantaran pendidikan yang salah urus. Agaknya, sudah sangat mendesak dunia pendidikan kita disentuh oleh hal-hal yang bersifat humanistis dan religius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar