Selasa, 16 Juni 2009

SEKOLAH RAMAH OZON
Menyemai Budaya Ramah Ozon Di Sekolah
Dua puluh tahun lalu, tepatnya 16 September 1987, Protokol Montreal ditandatangani oleh 24 negara. Protokol Montreal adalah sebuah traktat internasional yang dirancang untuk melindungi lapisan ozon dengan meniadakan produksi sejumlah zat yang menjadi penyebab kerusakan ozon di atmosfer bumi atau BPO (bahan perusak ozon). Karena itulah, tanggal 16 September diperingati sebagai Hari Ozon Internasional
Keseriusan pemerintah Indonesia meratifikasi Protokol Montreal ditunjukkan dengan dikeluarkannya berbagai peraturan pemerintah (Keppres dan Peraturan Presiden) yang mengatur penggunaan berbagai senyawa kimia yang menjadi bahan perusak ozonProtokol Montreal mensyaratkan seluruh negara bekerja sama melaksanakan pengamatan, penelitian, dan pertukaran informasi guna memperoleh pemahaman yang lebih baik dan mengkaji dampak kegiatan manusia terhadap ozon, serta dampak penipisan lapisan ozon terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Lapisan ozon merupakan bagian dari atmosfer yang berada pada lapisan stratosfer (19-48 km) yang mengandung molekul-molekul ozon (O3). Ilmuwan Jerman, Christian Friedrich Schonbein, menjadi orang pertama yang mengamati ozon ini (www.e-smartschool.com). Ozon adalah molekul tipis sederhana yang terdiri dari tiga atom oksigen dan menjadi bagian kecil dari atmosfer Bumi. Lapisan ozon berfungsi sebagai penapis radiasi sinar ultraviolet B (UV B) dari matahari. Dalam jumlah terbatas UV B sangat diperlukan bagi kehidupan di Bumi. Namun dalam jumlah berlebih dapat menimbulkan dampak negatif bagi manusia, hewan, tanaman, maupun lingkungan. Berbagai masalah kesehatan dapat timbul akibat penipisan lapisan ozon, seperti katarak dan kanker kulit yang mematikan, dan bahkan perubahan gen Berdasarkan penelitian US Environmental Protection Agency pada tahun 1985 diketahui bahwa penipisan ozon sebesar 1 % akan menyebabkan penambahan sekitar 100.000 – 150.000 kasus katarak yang menyebabkan kebutaan (www.pdpersi.co.id).
Menurut Dr. dr. Nila F. Moeloek, sinar UV B intensitas tinggi menyebabkan penurunan daya tahan tubuh manusia, sehingga mudah terserang penyakit, gangguan saluran pernapasan, hujan asam, dan memicu reaksi kimia yang menghasilkan asap beracun (Kompas Jateng, 15 September 2007: A). Di laut, radiasi UV B yang menembus lapisan ozon berakibat parah. Populasi plankton yang menjadi sumber utama jejaring makananorganisme laut dapat musnah, sehingga menimbulkan akibat berantai pada kehidupan di laut.Dampak lain yang tidak kalah mencemaskan dengan terjadinya penipisan lapisan
Ozon adalah turunnya kemampuan sejumlah organisme menyerap gas karbondioksida (CO2), yang merupakan salah satu gas rumah kaca pemicu terjadinya pemanasan global. Lapisan ozon berada dalam situasi kritis manakala konsentrasinya turun dibawah 220 DU (Dobson Unit). Penyebab utamanya adalah gas chlorine yang berasal dari senyawa CFC (chloro fluor carbon) dan gas bromine yang berasal dari senyawa methyl bromide dan halon. Hipotesis mengenai rusaknya lapisan ozon akibat CFC disampaikan oleh Sherwood Rowland dan Mario Molina dari University of California pada tahun 1974. Tuduhan mereka terhadap CFC ternyata sempat tidak ditanggapi dalam Vienna Convention. Verifikasi kerusakan lapisan ozon ini mencapai puncaknya pada tahun 1985 saat Farman dan kawan-kawan mempublikasikan hasil pengukuran yang menunjukkan rendahnya konsentrasi ozon di atas Antartika, sehingga muncullah istilah lubang ozon (ozone hole). Sejak ditemukannya fenomena penipisan lapisan ozon, luas daerah yang memiliki konsentrasi ozon kurang dari 220 DU terus membesar. Pada tahun 2004, NASA melaporkan bahwa lubang ozon di atas Antartika (Kutub Selatan) telah mencapai 28 juta km², yang berarti lebih dari dua kali lipat luas Antartika itu sendiri (Yuli Setyo I., 2007).
Selain CFC dan halon, bahan kimia lain yang mengakibatkan kerusakan pada lapisan ozon adalah karbon tetrakhlorida, metil khlorofom, dan metil bromida. Bahan CFC yang biasa digunakan adalah CFC-11, CFC-12, CFC-113, CFC-114, dan CFC-115 dalam produksi almari es, AC ruang dan mobil, serta untuk membuat berbagai jenis produk, seperti kasur busa, bahan isolasi bangunan, bumper mobil, dan sebagainya. CFC juga digunakan sebagai bahan pelarut, propelan, dan styrofoam wadah makanan. Halon digunakan sebagai bahan pemadam api, yaitu halon 1211 dan 2402 disemprotkan ke arah api, sedangkan halon 1301 dimasukkan dalam ruangan. Karbon tetrakhlorida yang memiliki daya rusak ozon setara dengan CFC digunakan pada sejumlah besar jenis pestisida, pelarut karet sintetis, pembersih logam, alat dry cleaning, dan pembasmi gulma. Metil khloroform digunakan pada industri baja, pencucian logam, pembersih semikonduktor, dan pembuatan fluorocarbon serta bahan kimia turunannya. Metil bromida digunakan pada fumigasi tanah atau produk-produk pertanian yang akan diekspor maupun diimpor.
Sekolah Ramah Ozon
Ozone friendly atau ramah ozon oleh Ninong Komala (2007) diartikan sebagai segala tindakan atau perilaku individu untuk mengurangi dan mengeliminasi pengaruh terhadap lapisan ozon yang disebabkan oleh produk yang dibeli individu. Senada dengan pendapat tersebut, sekolah ramah ozon adalah sekolah beserta segala komponennya yang selalu mempertimbangkan dan berusaha mengurangi kerusakan yang timbul akibat penggunaan bahan perusak ozon (BPO). Produk yang diharapkan dari sekolah ramah ozon adalah individu ramah ozon. Sebagaimana di negara berkembang lainnya, struktur penduduk Indonesia berkecenderungan membentuk struktur piramida. Artinya, penduduk usia muda mendominasi total penduduk Indonesia. Umumnya mereka masih berada di bangku sekolah, sehingga sekolah mempunyai posisi strategis dalam upaya mewujudkan manusia ramah ozon. Untuk mewujudkan sekolah ramah ozon, strategi yang ditempuh dapat dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu usaha jangka pendek dan usaha jangka panjang. Yang dimaksud usaha jangka pendek adalah usaha masyarakat sekolah yang segera dapat dilaksanakan dan dalam waktu relatif singkat dapat dirasakan manfaatnya, meski hanya bersifat lokal. Usaha yang dapat dilakukan di antaranya adalah, pertama, mendesain semua ruangan, baik ruang kepala sekolah, ruang guru, maupun kelas siswa, tetap nyaman digunakan tanpa menambah AC pada ruangan tersebut. Ventilasi yang lebar menjadi alternatif dalam desain tersebut. Usaha kedua yang dapat ditempuh adalah selalu menggunakan produk-produk berlabel Free CFC/Non CFC, seperti penggunaan lemari es, dispenser, tabung pemadam kebakaran, dan sebagainya. Ketiga, mengingatkan masyarakat sekolah untuk hanya menggunakan deodoran oles atau deodoran cair yang disemprotkan secara mekanis dengan tenaga pegas. Menghindari penggunaan pestisida kimiawi merupakan usaha keempat yang dapat dilakukan. Dengan mengaktifkan kegiatan Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) atau proses pembelajaran biologi sebagai motornya, Masyaraka sekolah didorong untuk menemukan pestisida alami, sehingga dapat menekan penggunaan metil bromida dan karbon tetrakhlorida yang termasuk dalam kategori BPO.
Usaha kelima yang dapat dilakukan adalah dengan penghijauan lingkungan sekolah dengan tamanisasi. Selain berdampak estetis, pembuatan taman sekolah berdampak pula terhadap iklim lokal di sekolah tersebut. Vegetasi yang ditanam mampu menyerap gas karbondioksida (CO2), sehingga dampak penipisan ozon yang menyebabkan kemampuan vegetasi menyerap CO2 semakin berkurang dapat tergantikan. Yang dimaksud usaha jangka panjang adalah usaha yang hasilnya tidak dapat dirasakan dengan cepat, tetapi baru dapat dirasakan dalam jangku waktu yang relatif lama. Hal ini disebabkan karena upaya ini berhubungan dengan perubahan sikap dan perilaku seseorang melalui proses pendidikan. Meski begitu, usaha ini sangat penting dilakukan. Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (1988) dan Preston (1992) pun menyarankan agar pembinaan sikap dan norma-norma perilaku penduduk terhadap lingkungan hidupnya mendapat perhatian yang cukup.
Hubungan antara manusia dengan lingkungan dapat dilukiskan dengan baik oleh Backler melalui Doktrin Pengambilan Keputusan. Menurut doktrin tersebut, lingkungan alami merupakan titik tolak dan sumber informasi sebagaimana terlihat manusia. Setiap individu mejadi seorang pengambil keputusan. Bagaimana informasi itu diamati dan diartikan dengan tepat sangat ditentukan oleh latar belakang pembuat keputusan, seperti pengalaman, sikap terhadap alam, nilai dan norma yang berlaku, dan sebagainya. Jadi keputusan yang diambil tidak didasarkan pada naluri semata, melainkan melalui pertimbangan-pertimbangan. Keputusan yang diambil akan mempengaruhi dan mengubah lingkungan alam, sehingga muncullah informasi baru yang akan menyebabkan proses pengambilan keputusan yang baru pula. Senada dengan hal tersebut, Lisna Lubis (1996) menyatakan tinggi rendahnya derajat partisipasi seseorang dalam berbagai hubungan yang bernilai positif dengan lingkungannya dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, faktor kognitif yang dipunyai, meliputi pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis mengenai lingkungan hidup dan fungsinya dalam kehidupan manusia. Kedua, faktor afektif yang diembannya, seperti rasa keindahan, tanggung jawab, serta sikap dan penilaian yang diberikan kepada lingkungan. Faktor ketiga adalah faktor psikomotorik, berupa kemampuan dan penguasaan, serta kesempatan melaksanakan tindakan-tindakan yang langsung berhubungan dengan lingkungan. Disekolah terjadi proses enkulturasi, yaitu proses pembudayaan terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat, termasuk nilai dan norma yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya. Oleh karena sikap terhadap alam, nilai dan norma yang berlaku, pantangan, dan pengetahuan seseorang sangat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan, maka pendidikan di sekolahmenempati posisi strategis sebagai tempat persemaian manusia-manusi ramah ozon. Pada akhirnya, kesepakatan-kesepakatan internasional dalam upaya melestarikan fungsi ozon bagi kehidupan di Bumi dapat dipercepat pencapaiannya. Lebih dari itu, manusia ramah ozon akan menjadi insan yang bertanggung jawab atas kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Ia bukan insan yang menyisakan masalah lingkungan kepada anak cucunya.
Artikel Biologi 3

PENGARUH UU BHP TERHADAP KONDISI PENDIDIKAN SAAT INI

Pada tanggal 17 Desember 2008, akhirnya Komisi X DPR RI mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pertanyaanya, apa yang sesungguhnya melandasi sikap pemerintah untuk membuat mengesahkan UU BHP? Apa yang membuat ada perbedaan di antara UU PT-BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan UU BHP? Apakah UU BHP adalah jawaban atas permasalahan-permasalahan pada UU PT-BHMN (penyempurnaan)? Satu hal yang menarik di sini, pihak pemerintah menggunakan proporsi 2/3 seluruh biaya pendidikan yang akan ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedangkan sisanya sebanyak 1/3 dari seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh masyarakat. Adalagi kemudian disebutkan apabila institusi pendidikan sudah diharuskan untuk menyusun laporan keuangan konsolidasi seperti halnya pada perusahaan-perusahaan komersial. Jika praktek BHMN hanya terbatas pada lingkup perguruan tinggi negeri (PTN), maka BHP akan berlaku untuk semua institusi pendidikan dasar (termasuk Madrasah). Latar Belakang sebelum terbentuknya RUU BHP, perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia sudah menggunakan badan hukum yang dikenal PT-BHMN sejak tahun 2000. Permasalahannya, bentuk badan hukum seperti BHMN dianggap masih masih memiliki kekurangan terutama pada aspek pengaturan sumber pendanaan. Kontribusi pemerintah sama sekali tidak disebutkan, kecuali hanya membahas soal penyelesaian status aset kepemilikan. Bentuk badan hukum seperti BHMN hanya berlaku terbatas di lingkungan perguruan tinggi negeri. Sekalipun demikian, beberapa sekolah di tingkat pendidikan dasar sudah mulai disosialisasikan sistem yang berlaku dalam BHMN. RUU BHP yang disahkan oleh DPR melalui Komisi X tanggal 17 Desember 2008 sesungguhnya melengkapi kekurangan yang tidak disebutkan pada BHMN. Apabila lingkup BHMN masih terbatas pada perguruan tinggi negeri, maka BHP diperluas hingga pada tingkat pendidikan dasar.
Menurut pihak Komisi X DPR RI, keberadaan RUU BHP diharapkan akan mampu menghapus praktek komersialisasi pendidikan yang selama ini terjadi pada BHMN. Dalam RUU BHP telah di atur tentang sumber pendanaan pendidikan di mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan menanggung sebesar 2/3 dari total biaya pendidikan seperti yang tertera pada Bab V, Pasal 33 dan 34, Pendanaan (berdasarkan RUU BHP tanggal 5 Desember 2008). Dalam Pasal 34, ayat 5 (sekarang Pasal 41, ayat 7) disebutkan jika anak didik hanya menanggung 1/3 dari seluruh biaya operasional. Ditambahkan pula pada Pasal 38 bahwa BHP mengalokasikan beasiswa kepada sedikitnya 20% dari seluruh peserta didik. Tidak ada penjelasan per pasal yang menerangkan mengenai besarnya angka 20% dari total populasi mahasiswa. Sebelumnya, tidak ada kewajiban bagi lembaga pendidikan untuk menyampaikan ataupun mempublikasikan laporan keuangan. Dalam RUU BHP Bab VI Tentang Akuntabilitas dan Pengawasan, Pasal 40 (ayat 4) disebutkan jika institusi pendidikan diharuskan menyusun laporan manajemen dan laporan keuangan. Dalam Pasal 43, Ayat 1 ditegaskan jika laporan keuangan yang dimaksudkan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan BHP yang disusun mengikuti standar akuntansi yang berlaku. Pada Pasal 43, Ayat 2 disebutkan jika laporan keuangan BHP merupakan laporan keuangan tahunan konsolidasi. Di dalam Pasal 43, Ayat 1, laporan keuangan tahunan BHP diaudit oleh akuntan publik. Disebutkan pula pada Pasal 43, Ayat 3 bahwa laporan keuangan BHP harus dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pemuatan di media cetak berbahasa Indonesia dan penempatan di papan pengumuman resmi setiap satuan pendidikan yang dikelolanya.
Telaah atas RUU BHP ada ketidakjelasan dalam merumuskan istilah otonomi dan kemandirian pendidikan. Di satu sisi, sumber pendanaan disebutkan sebesar 2/3 berasal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di sisi lain, pihak institusi pendidikan masih diberikan keleluasaan untuk memperoleh sumber pendanaan lain seperti sumbangan pendidikan, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan penerimaan lain yang sah (Bab V – Pendanaan, Pasal 37, Ayat 1). Pertanyaannya, jika dimisalkan sumber pendanaan lain bisa terakumulasi sebesar separuh dari besarnya total biaya operasional pendidikan, bagaimana rumusan untuk menentukan 2/3 pendanaan yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan 1/3 yang ditanggung oleh anak didik?.
Bisa saja pihak pengelola pendidikan akan mengelola hasil pendanaan lain-lain sebesar 35 untuk keperluan pembangunan ataupun pengembangan infrastruktur pendidikan. Sekalipun demikian, perumusannya akan lebih cenderung tidak menguntungkan anak didik secara ekonomi. Sekalipun disebutkan kata nirlaba, akan tetapi tetap tidak bisa mengabaikan apabila dalam pelaksanaannya nanti cenderung untuk orientasi memberikan keuntungan (benefit) kepada pihak pengelola pendidikan.
Dalam RUU BHP juga tidak diperjelas mengenai pengertian biaya operasional pendidikan. Apakah yang dimaksudkan adalah biaya penyelenggaraan pendidikan untuk per anak didik atau akumulasi dari keseluruhan biaya penyelenggaraan institusi pendidikan? Perlu diketahui, apabila pihak institusi pendidikan membayar cicilan utang, maka cicilan utang tadi sesungguhnya adalah bagian dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Misal saja cicilan utang untuk pembangunan infrastruktur pendidikan seperti bangunan, lab, perpustakaan, dan perbaikan sarana. Apabila mengikuti kaidah yang berlaku dalam akuntansi, biaya operasional tersusun dari berbagai macam komponen yang penulisannya dalam laporan keuangan dipisahkan berdasarkan aturan penyusunan laporan keuangan konsolidasi. Kaidah dalam penyusunan laporan keuangan tidak seperti menyebutkan besarnya biaya operasional, akan tetapi mengikuti penyusunan kaidah laporan keuangan konsolidasi. Jika yang dimaksudkan biaya operasional pendidikan adalah biaya operasional pada laporan keuangan konsolidasi, maka pengawasannya akan semakin sulit. Lalu siapa yang selanjutnya akan mengawasi angka 1/3 atau 2/3?. Angka 20% dari jumlah populasi anak didik yang mendapatkan beasiswa juga tidak jelas. Apakah angka 20% tadi sudah dipertimbangkan memenuhi asas keberpihakan kepada mereka yang lemah (option for the poor)? Ataukah angka 20% hanyalah untuk melengkapi keseluruhan penyusunan RUU BHP?.Penyebab Pendidikan Mahal?
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) yang disetujui DPR pada 17 Desember 2008 telah menuai reaksi dari mahasiswa, guru, dan pemerhati pendidikan di beberapa tempat. Pada dasarnya, reaksi tersebut disebabkan dua hal. Pertama, pemahaman yang belum utuh terhadap UUBHP. Kedua, dugaan bahwa BHP identik dengan praktik beberapa PTN dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memasang tarif SPP yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Apakah UUBHP menyebabkan pendidikan menjadi mahal, sehingga masyarakat miskin tidak mampu membayar SPP. Menurut Pasal 41 Ayat (1) UUBHP, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHP Pemerintah (di bawah Depag) dan BHP Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi para siswa. Jadi, UUBHP menjamin bahwa negara menanggung semua biaya pendidikan untuk wajib belajar 9 tahun atau siswa tidak perlu membayar SPP. Untuk siswa pendidikan menengah, Pasal 41 Ayat (8) UUBHP menjamin biaya pendidikan yang ditanggung oleh seluruh siswa pada BHPP atau BHPPD paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP atau BHPPD tersebut. Kalimat "paling banyak" berarti dapat kurang dari sepertiga hingga tidak dipungut SPP. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya, menanggung sisanya, yaitu paling sedikit sepertiga biaya operasional BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah. Kalimat "paling sedikit" berarti dapat lebih dari sepertiga hingga mendanai seluruh biaya operasional, bergantung pada seberapa besar kemampuan siswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya membayar SPP.
Bagi pendidikan tinggi, Pasal 41 Ayat (9) UUBHP menetapkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP tersebut. Sedangkan menurut Pasal 41 Ayat (6) UUBHP, pemerintah bersama BHPP menanggung sisanya, yaitu paling sedikit 1/2 biaya operasional BHPP tersebut. Kalimat "paling banyak", berarti dapat kurang dari sepertiga hingga tidak dipungut biaya SPP. Sedangkan kalimat "paling sedikit" berarti dapat lebih dari 1/2 hingga mendanai seluruh biaya operasional BHPP tersebut, bergantung pada seberapa besar kemampuan mahasiswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya untuk membayar SPP.
Efek Untuk Universitas Swasta secara langsung sulit untuk melihat apakah benar-benar universitas swasta terkena pengaruh dari kebaradaan UU BHP ini. Hal ini karena sejak dulu universitas swasta tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah dalam menghidupkan aktifitasnya seperti yang dilakukan oleh PTN. Meskipun begitu, mau tidak mau UU BHP ini juga bisa berdampak terhadap keberadaan universitas swasta dimana calon mahasiswa akan semakin bingung untuk menentukan kuliah yang akan dia tuju hal ini karena baik PTS maupun PTN semuanya mahal. Hal ini dapat menjadi bumerang tersendiri bagi PTS karena dipastikan calon mahasiswa akan lebih memilih PTN dibandingkan dengan PTS karena nama besar yang dimiliki oleh PTN tersebut meskipun dari segi biaya hampir sama. Sulit untuk menilai apakah RUU BHP memiliki kecenderungan untuk mengkomersilkan pendidikan nasional. Ada beberapa hal di dalam perancangan UU BHP yang masih perlu diberikan penjelasan tambahan. Perlu diketahui jika RUU BHP sesungguhnya adalah upaya untuk mempertahankan keberlangsungan pendidikan nasional dengan men-swastakan pendidikan nasional tersebut. Sistem seperti ini hampir tidak berbeda dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya. Pada akhirnya, sekalipun disebutkan peran pemerintah (sebagai salah satu sumber pendanaan) akan menjadi pilihan pelengkap. Perlu diketahui pula apabila RUU BHP merupakan salah satu bentuk tindak lanjut dari UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 24 dan 60 yang menyebutkan apabila institusi pendidikan masih diberikan keleluasaan (otonomi) untuk mengelola pendidikan, termasuk di dalam BHP mengelola sumber-sumber pendanaan.
Langkah bijaksana untuk ke depan adalah terus melakukan evaluasi dan pengawasan karena UU BHP yang sudah disahkan tadi masih perlu mendapatkan perbaikan ataupun penyempurnaan. Jika penyusunannya dikatakan tergesas-gesa, mungkin ada benarnya karena dalam UU BHP mulai diberlakukan penyusunan laporan keuangan tahunan. Ini berarti, jika harus dilakukan pra kondisi, maka pelaksanaannya harus dimulai sebelum akhir tahun. Satu hal dari pengesahan RUU BHP adalah substansinya yang belum menyelesaikan ataupun menjawab permasalahan mendasar pada BHMN. (Tim Laput Spora/Diolah/Dari Berbagai Sumber)








Artikel Pendidikan 1
PENGARUH UU BHP TERHADAP KONDISI PENDIIDKAN DI INDONESIA

Pada tanggal 17 Desember 2008, akhirnya Komisi X DPR RI mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pertanyaanya, apa yang sesungguhnya melandasi sikap pemerintah untuk membuat mengesahkan UU BHP? Apa yang membuat ada perbedaan di antara UU PT-BHMN (Badan Hukum Milik Negara) dan UU BHP? Apakah UU BHP adalah jawaban atas permasalahan-permasalahan pada UU PT-BHMN (penyempurnaan)? Satu hal yang menarik di sini, pihak pemerintah menggunakan proporsi 2/3 seluruh biaya pendidikan yang akan ditanggung oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedangkan sisanya sebanyak 1/3 dari seluruh biaya pendidikan ditanggung oleh masyarakat. Adalagi kemudian disebutkan apabila institusi pendidikan sudah diharuskan untuk menyusun laporan keuangan konsolidasi seperti halnya pada perusahaan-perusahaan komersial. Jika praktek BHMN hanya terbatas pada lingkup perguruan tinggi negeri (PTN), maka BHP akan berlaku untuk semua institusi pendidikan dasar (termasuk Madrasah). Latar Belakang sebelum terbentuknya RUU BHP, perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia sudah menggunakan badan hukum yang dikenal PT-BHMN sejak tahun 2000. Permasalahannya, bentuk badan hukum seperti BHMN dianggap masih masih memiliki kekurangan terutama pada aspek pengaturan sumber pendanaan. Kontribusi pemerintah sama sekali tidak disebutkan, kecuali hanya membahas soal penyelesaian status aset kepemilikan. Bentuk badan hukum seperti BHMN hanya berlaku terbatas di lingkungan perguruan tinggi negeri. Sekalipun demikian, beberapa sekolah di tingkat pendidikan dasar sudah mulai disosialisasikan sistem yang berlaku dalam BHMN. RUU BHP yang disahkan oleh DPR melalui Komisi X tanggal 17 Desember 2008 sesungguhnya melengkapi kekurangan yang tidak disebutkan pada BHMN. Apabila lingkup BHMN masih terbatas pada perguruan tinggi negeri, maka BHP diperluas hingga pada tingkat pendidikan dasar.
Menurut pihak Komisi X DPR RI, keberadaan RUU BHP diharapkan akan mampu menghapus praktek komersialisasi pendidikan yang selama ini terjadi pada BHMN. Dalam RUU BHP telah di atur tentang sumber pendanaan pendidikan di mana pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan menanggung sebesar 2/3 dari total biaya pendidikan seperti yang tertera pada Bab V, Pasal 33 dan 34, Pendanaan (berdasarkan RUU BHP tanggal 5 Desember 2008). Dalam Pasal 34, ayat 5 (sekarang Pasal 41, ayat 7) disebutkan jika anak didik hanya menanggung 1/3 dari seluruh biaya operasional. Ditambahkan pula pada Pasal 38 bahwa BHP mengalokasikan beasiswa kepada sedikitnya 20% dari seluruh peserta didik. Tidak ada penjelasan per pasal yang menerangkan mengenai besarnya angka 20% dari total populasi mahasiswa. Sebelumnya, tidak ada kewajiban bagi lembaga pendidikan untuk menyampaikan ataupun mempublikasikan laporan keuangan. Dalam RUU BHP Bab VI Tentang Akuntabilitas dan Pengawasan, Pasal 40 (ayat 4) disebutkan jika institusi pendidikan diharuskan menyusun laporan manajemen dan laporan keuangan. Dalam Pasal 43, Ayat 1 ditegaskan jika laporan keuangan yang dimaksudkan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan BHP yang disusun mengikuti standar akuntansi yang berlaku. Pada Pasal 43, Ayat 2 disebutkan jika laporan keuangan BHP merupakan laporan keuangan tahunan konsolidasi. Di dalam Pasal 43, Ayat 1, laporan keuangan tahunan BHP diaudit oleh akuntan publik. Disebutkan pula pada Pasal 43, Ayat 3 bahwa laporan keuangan BHP harus dipertanggungjawabkan kepada publik melalui pemuatan di media cetak berbahasa Indonesia dan penempatan di papan pengumuman resmi setiap satuan pendidikan yang dikelolanya.
Telaah atas RUU BHP ada ketidakjelasan dalam merumuskan istilah otonomi dan kemandirian pendidikan. Di satu sisi, sumber pendanaan disebutkan sebesar 2/3 berasal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di sisi lain, pihak institusi pendidikan masih diberikan keleluasaan untuk memperoleh sumber pendanaan lain seperti sumbangan pendidikan, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, dan penerimaan lain yang sah (Bab V – Pendanaan, Pasal 37, Ayat 1). Pertanyaannya, jika dimisalkan sumber pendanaan lain bisa terakumulasi sebesar separuh dari besarnya total biaya operasional pendidikan, bagaimana rumusan untuk menentukan 2/3 pendanaan yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan 1/3 yang ditanggung oleh anak didik?.
Bisa saja pihak pengelola pendidikan akan mengelola hasil pendanaan lain-lain sebesar 35 untuk keperluan pembangunan ataupun pengembangan infrastruktur pendidikan. Sekalipun demikian, perumusannya akan lebih cenderung tidak menguntungkan anak didik secara ekonomi. Sekalipun disebutkan kata nirlaba, akan tetapi tetap tidak bisa mengabaikan apabila dalam pelaksanaannya nanti cenderung untuk orientasi memberikan keuntungan (benefit) kepada pihak pengelola pendidikan.
Dalam RUU BHP juga tidak diperjelas mengenai pengertian biaya operasional pendidikan. Apakah yang dimaksudkan adalah biaya penyelenggaraan pendidikan untuk per anak didik atau akumulasi dari keseluruhan biaya penyelenggaraan institusi pendidikan? Perlu diketahui, apabila pihak institusi pendidikan membayar cicilan utang, maka cicilan utang tadi sesungguhnya adalah bagian dari biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Misal saja cicilan utang untuk pembangunan infrastruktur pendidikan seperti bangunan, lab, perpustakaan, dan perbaikan sarana. Apabila mengikuti kaidah yang berlaku dalam akuntansi, biaya operasional tersusun dari berbagai macam komponen yang penulisannya dalam laporan keuangan dipisahkan berdasarkan aturan penyusunan laporan keuangan konsolidasi. Kaidah dalam penyusunan laporan keuangan tidak seperti menyebutkan besarnya biaya operasional, akan tetapi mengikuti penyusunan kaidah laporan keuangan konsolidasi. Jika yang dimaksudkan biaya operasional pendidikan adalah biaya operasional pada laporan keuangan konsolidasi, maka pengawasannya akan semakin sulit. Lalu siapa yang selanjutnya akan mengawasi angka 1/3 atau 2/3?. Angka 20% dari jumlah populasi anak didik yang mendapatkan beasiswa juga tidak jelas. Apakah angka 20% tadi sudah dipertimbangkan memenuhi asas keberpihakan kepada mereka yang lemah (option for the poor)? Ataukah angka 20% hanyalah untuk melengkapi keseluruhan penyusunan RUU BHP?.Penyebab Pendidikan Mahal?
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UUBHP) yang disetujui DPR pada 17 Desember 2008 telah menuai reaksi dari mahasiswa, guru, dan pemerhati pendidikan di beberapa tempat. Pada dasarnya, reaksi tersebut disebabkan dua hal. Pertama, pemahaman yang belum utuh terhadap UUBHP. Kedua, dugaan bahwa BHP identik dengan praktik beberapa PTN dan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang memasang tarif SPP yang tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Apakah UUBHP menyebabkan pendidikan menjadi mahal, sehingga masyarakat miskin tidak mampu membayar SPP. Menurut Pasal 41 Ayat (1) UUBHP, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHP Pemerintah (di bawah Depag) dan BHP Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi para siswa. Jadi, UUBHP menjamin bahwa negara menanggung semua biaya pendidikan untuk wajib belajar 9 tahun atau siswa tidak perlu membayar SPP. Untuk siswa pendidikan menengah, Pasal 41 Ayat (8) UUBHP menjamin biaya pendidikan yang ditanggung oleh seluruh siswa pada BHPP atau BHPPD paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP atau BHPPD tersebut. Kalimat "paling banyak" berarti dapat kurang dari sepertiga hingga tidak dipungut SPP. Sedangkan pemerintah dan pemerintah daerah, sesuai dengan kewenangannya, menanggung sisanya, yaitu paling sedikit sepertiga biaya operasional BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah. Kalimat "paling sedikit" berarti dapat lebih dari sepertiga hingga mendanai seluruh biaya operasional, bergantung pada seberapa besar kemampuan siswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya membayar SPP.
Bagi pendidikan tinggi, Pasal 41 Ayat (9) UUBHP menetapkan bahwa mahasiswa menanggung paling banyak sepertiga dari biaya operasional BHPP tersebut. Sedangkan menurut Pasal 41 Ayat (6) UUBHP, pemerintah bersama BHPP menanggung sisanya, yaitu paling sedikit 1/2 biaya operasional BHPP tersebut. Kalimat "paling banyak", berarti dapat kurang dari sepertiga hingga tidak dipungut biaya SPP. Sedangkan kalimat "paling sedikit" berarti dapat lebih dari 1/2 hingga mendanai seluruh biaya operasional BHPP tersebut, bergantung pada seberapa besar kemampuan mahasiswa, orangtua, atau pihak yang membiayainya untuk membayar SPP.
Efek Untuk Universitas Swasta secara langsung sulit untuk melihat apakah benar-benar universitas swasta terkena pengaruh dari kebaradaan UU BHP ini. Hal ini karena sejak dulu universitas swasta tidak mengandalkan bantuan dari pemerintah dalam menghidupkan aktifitasnya seperti yang dilakukan oleh PTN. Meskipun begitu, mau tidak mau UU BHP ini juga bisa berdampak terhadap keberadaan universitas swasta dimana calon mahasiswa akan semakin bingung untuk menentukan kuliah yang akan dia tuju hal ini karena baik PTS maupun PTN semuanya mahal. Hal ini dapat menjadi bumerang tersendiri bagi PTS karena dipastikan calon mahasiswa akan lebih memilih PTN dibandingkan dengan PTS karena nama besar yang dimiliki oleh PTN tersebut meskipun dari segi biaya hampir sama. Sulit untuk menilai apakah RUU BHP memiliki kecenderungan untuk mengkomersilkan pendidikan nasional. Ada beberapa hal di dalam perancangan UU BHP yang masih perlu diberikan penjelasan tambahan. Perlu diketahui jika RUU BHP sesungguhnya adalah upaya untuk mempertahankan keberlangsungan pendidikan nasional dengan men-swastakan pendidikan nasional tersebut. Sistem seperti ini hampir tidak berbeda dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya. Pada akhirnya, sekalipun disebutkan peran pemerintah (sebagai salah satu sumber pendanaan) akan menjadi pilihan pelengkap. Perlu diketahui pula apabila RUU BHP merupakan salah satu bentuk tindak lanjut dari UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 24 dan 60 yang menyebutkan apabila institusi pendidikan masih diberikan keleluasaan (otonomi) untuk mengelola pendidikan, termasuk di dalam BHP mengelola sumber-sumber pendanaan.
Langkah bijaksana untuk ke depan adalah terus melakukan evaluasi dan pengawasan karena UU BHP yang sudah disahkan tadi masih perlu mendapatkan perbaikan ataupun penyempurnaan. Jika penyusunannya dikatakan tergesas-gesa, mungkin ada benarnya karena dalam UU BHP mulai diberlakukan penyusunan laporan keuangan tahunan. Ini berarti, jika harus dilakukan pra kondisi, maka pelaksanaannya harus dimulai sebelum akhir tahun. Satu hal dari pengesahan RUU BHP adalah substansinya yang belum menyelesaikan ataupun menjawab permasalahan mendasar pada BHMN.


Artikel Pendidikan 1
MENUNGGU MULTIPLIER EFFECT SERTIFIKASI PENDIDIK

Pelaksanaan program sertifikasi pendidik bagi sekitar 2.7 juta guru (dan juga dosen) kita di tanah air sampai saat ini telah memasuki tahun ke empat sejak dicanangkan tahun 2006 yang lalu. Menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), Dr. Baedhowi, sampai akhir tahun 2008 sudah ada sekitar 360.000 orang guru kita yang sudah dinyatakan lulus program sertifikasi pendidik ini (baik yang lulus melalui penilaian portfolio maupun melalui pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Dan tahun 2009 ini, pemerintah merencanakan kuota 200.000 guru untuk mengikuti sertifikasi pendidik tahun ini.. Dengan demikian, sampai akhir tahun 2009, diperkirakan sudah ada sekitar 560.000 guru Indonesia yang sudah dan akan dinyatakan sebagai guru professional.
Sebagaimana tema besar yang melatarbelakangi kebijakan sertifikasi pendidik ini, bahwa program ini diharapkan bisa menjadi instrument penting dalam upaya kita meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita, maka harapannya tentu ketika seorang guru telah mendapat sertifikat sebagai pendidik professional, dia bisa mentransformasi diri menjadi seorang pendidik yang menunjukkan dan menjaga sikap profesionalismenya dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Dengan kata lain, seorang guru professional seharusnya adalah seorang yang memiliki empat kompetensi pendidik sebagaimana diamanahkan Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.
Kalau asumsi perubahan itu benar-benar terjadi, maka diyakini akan terjadi multiplier effect (efek berantai) yang luar biasa pada proses perbaikan dunia pendidikan kita di tanah air. Pengaruh paling diharapkan adalah akan semakin efetifnya proses pembelajaran di setiap sekolah kita. Kita berharap setelah program sertifikasi ini kita akan menemukan para pendidik yang mencurahkan segala potensinya dalam melaksanakan tugas kependidikannya; para guru yang bergairah, bersemangat, memiliki etos kerja tinggi, disiplin, paham akan tugasnya, dan yang paling penting adalah para guru yang mencintai profesi kependidikannya.
Diyakini, suasana positif ini akan mengalir ke ruang-ruang kelas. Ketika para pendidik telah mencintai profesi kependidikannya dalam maknanya yang sebenarnya, kita akan menemukan ruang-ruang kelas yang hidup karena dipimpin oleh seorang pendidik professional, seorang guru yang kaya dengan berbagai ide kreatif tentang bagaimana menjadikan proses pembelajaran semakin efektif dan menarik, seorang guru yang tak pernah kehabisan cara dalam membantu anak didik mereka mencapai target-target pembelajaran, seorang guru yang tidak hanya bisa berperan sebagai sumber ilmu, tapi juga sebagai sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi para siswanya dalam menggapai asa dan masa depan mereka yang lebih baik.
Efek positif berantai itu tidak hanya akan terasa di sekolah atau di ruang-ruang kelas, tapi juga akan terasa di lingkungan luar sekolah atau di tengah masyarakat. Karena pendidik professional itu juga ditandai dengan kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial, maka kita nanti akan menemukan banyak guru yang tidak hanya berperan sebagai sumber inspirasi bagi siswanya di sekolah, tapi juga bagi masyarakat di lingkungan dimana dia berada. Dia akan menjadi model yang akan ditiru masyarakatnya, dijadikan salah satu sumber referensi penting dalam bermasyarakat. Bukan tak mungkin, kita akan bertemu dengan guru yang secara aktif berperan mengarahkan perubahan (director of change) masyarakatnya menuju masa depan yang lebih baik. Lebih jauh, tentu suasana seperti ini akan berakibat pada semakin kuatnya pesona dan martabat profesi guru di tengah masyarakat. Profesi guru akan kembali menempati posisi terhormat di tengah masyarakat Indonesia. Profesi ini tidak akan lagi dipandang ‘seblah mata’ oleh sebagian orang. Dan kalau suasana seperti ini benar-benar tercipta, hampir bisa dipastikan bahwa profesi pendidik ini akan menjadi salah satu pilihan profesi yang sangat menarik bagi generasi muda cemerlang kita di masa datang.
Puncak dari multiplier effect yang kita harapkan tentu saja akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan nasional kita secara simultan dan signifikan. Secara berangsur tapi pasti, pendidikan kita akan semakin baik. Kualitas anak didik kita akan semakin membanggakan. Peringkat pendidikan kita di dunia akan semakin naik. Mayoritas anak bangsa ini akan memperoleh skill yang cukup untuk bisa survive di tengah kompetisi peradaban global yang semakin kuat. Dan pada saatnya nanti kita berharap bahwa kita betul-betul bisa merasakan bahwa kita berhak dan pantas duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa maju lainnya di dunia. Betulkah sudah ada perubahan? Di balik segala harapan di atas, pertanyaan mendasar yang sekarang penting kita jawab adalah, apakah betul mereka para pendidik yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi itu atau bahkan sudah menikmati tunjangan profesi pendidik benar-benar telah mentransformasi diri menjadi seorang pendidik yang professional? Apakah mereka yang sudah certified itu di lapangan sudah memperlihatkan dan membuktikan berbagai kompetensi yang telah kita bahas di atas?
Sebagai contoh dalam hal kompetensi pedagogis; sudahkah para certified educators itu menguasai dengan baik materi ajar mereka, mempersiapkan dengan baik kegiatan mengajar mereka, membuat silabus, membuat rencana pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran secara kreatif, dan melaksanakan penilaian sebagaimana dituntut oleh aturan perundangan yang berlaku?
Dalam hal kompetensi kepribadian, apakah mereka yang sudah menikmati tunjangan profesi pendidik itu benar-benar telah menjadi soerang neo educator, pendidik baru dengan darah, semangat, dan paradigma baru. Pendidik yang tidak hanya pintar mentranformasi knowledge kepada para peserta didiknya, tapi juga seorang yang dengan sadar dan terencana bisa mentransformasi nilai-nilai kebaikan kepada siswanya, dengan menunjukkan sikap dan kepribadian terpuji di hadapa para siswanya. Sudahkah mereka menjadi orang pertama yang mecontohkan betapa pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam proses pembelajaran, menghargai etos kerja, disiplin, menghormati orang lain, suka menolong, gemar membaca, tidak merokok, tidak terlambat, dan berbagai sikap dan kepribadian positif lainnya?
Pertanyaan seperti di atas harus terus disampaikan agar perubahan yang substansial itu benar-benar terjadi. Kita mesti khawatir kalau ternyata perubahan itu tak pernah ada, ataupun kalau ada, perubahan itu lebih banyak dalam hal artificial, seperti perubahan life style (gaya hidup) sebagian guru kita yang telah dinyatakan sebagai guru professional itu. Berubah dari seorang ‘oemar bakri’ yang sebelumnya datang ke sekolah dengan motor butut, menjadi seorang guru berdasi yang sekarang datang dengan menyetir mobil pribadi. Atau malah dari seorang yang sebelumnya telah menderita karena himpitan hutang kepada seorang yang semakin menderita karena menambah hutang baru untuk membeli aksesoris duniawi karena ada harapan sekian juta yang bisa diterima setiap bulan untuk menutupi hutang-hutang itu. Kalau ini yang terjadi, tentu sungguh sangat disayangkan.
Perlu Sistem Kontrol Kekhawatiran akan fenomena di atas sangat beralasan, karena sampai hari ini belum ada sistem baru yang bisa mengontrol kinerja para guru yang sudah disertifikasi ini. Karenanya, untuk mengantisipasi kekhwatiran di atas, urgen dan penting dipikirkan oleh pemerintah sebuah sistem kontrol di setiap lembaga pendidikan untuk memastikan (baca: melakukan assessment) secara berkala dan terukur terhadap kinerja para guru professional ini. Sepertinya, kewajiban mengajar minimal 24 jam yang selama ini dijadikan syarat administratif untuk mencairkan tunjangan profesi itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, sangat jauh dari cukup sebagai ‘alat bukti’ menilai kinerja seorang pendidik yang profesional. Menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada kepala sekolah untuk mengontrol kinerja guru professional ini juga beresiko, karena kadangkala kepala sekolah sendiri berada di dalam lingkaran masalah itu.
Pada tahap awal, pemerintah bisa mengoptimalkan peran para pengawas sekolah di lingkungan dinas pendidikan (atau di kantor Departemen Agama) dalam menjalankan kontrol ini. Para pengawas itu, selain melakukan pembinaan rutin kepada para guru, semestinya juga harus menjalankan fungsi kontrolnya kepada seorang guru. Para pengawas itu mesti memeriksa dan memastikan bahwa para guru kita di sekolah telah benar-benar memiliki kompetensi pedagogis, misalnya dengan memeriksa kelengkapan pengajaran setiap guru, mulai dari perencanaan, sampai evaluasi. Apabila diperlukan, lembar penilaian dari pengawas bisa dijadikan sebagai tambahan persyaratan administratif untuk mencairkan tunjangan profesi pendidik itu.
Pada jangka panjang perlu dibikin sistem kontrol yang lebih kuat dalam melakukan peniliaian terhadap kinerja dan atau rekam jejak aktifitas guru-guru ini di lapangan. Pembentukan lembaga baru semisal tim auditor independen yang secara berkala bekerja menilai kinerja para guru setelah disertifikasi dengan sistem kerja yang berbasis profesionalisme perlu dipikirkan. Tim independen ini nanti secara berkala melaporkan hasil ‘audit’ mereka, dan sangat mungkin mereka merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberhentikan pemberian tunjangan profesi pendidik kepada guru tertentu yang setelah diperiksa tak layak lagi menerimanya.
Dengan adanya sistem kontrol seperti ini, pemerintah bisa memastikan bahwa tunjangan profesi pendidik ini hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar berhak dan layak memperolehnya. Pada saat yang sama, kekhawatiran kita bahwa tidak terjadinya perubahan substansial di dunia pendidika kita barangkali bisa diminimalisir. Kalau tidak, harapan untuk menjadikan dunia pendidikan kita lebih baik hanya akan menjadi impian kosong kita. Kalau ini yang terjadi, tentu kucuran dana miliaran rupiah yang dianggarkan pemerintah untuk program sertifikasi pendidik ini akan menjadi sia-sia belaka. Dan kita tentu sama sekali tak ingin mimpi buruk ini terjadi. Wallahua’lam.
Artikel Pendidikan 2


REVITALISASI PENDIDIKAN KEMANUSIAAN


Ketika sendi-sendi kehidupan bangsa ini digoyang oleh berbagai macam aksi kekerasan, kerusuhan, anarkhi, destruktif, bahkan telah terkontaminasi “virus” disintegrasi sosial, kesadaran nurani kita mulai tersentuh akan pentingnya makna pendidikan hakiki. Banyak kalangan mulai melihat bahwa model pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan akan berdampak pada munculnya potensi konflik, chaos, dan ketegangan di tengah-tengah masyarakat.
Secara jujur mesti diakui, selama bertahun-tahun, dunia pendidikan kita terpasung di persimpangan jalan; tersisih di antara ingar-bingar ambisi penguasa yang ingin mengejar pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Pendidikan tidak diarahkan untuk memanusiakan manusia secara utuh lahir dan batin, tetapi lebih diorientasikan pada hal-hal yang bersifat materialistis, ekonomis, dan teknokratis, kering dari sentuhan nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan budi pekerti. Pendidikan lebih mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa diimbangi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Akibatnya, apresiasi out-put pendidikan terhadap keagungan nilai humanistik, keluhuran budi, dan budi nurani menjadi nihil. Mereka telah menjadi sosok pribadi yang telah kehilangan hati nurani dan perasaan, cenderung bar-bar, vandalistis, dan mau menang sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.
Dalam konteks yang demikian itu, pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, penjilat, hipokrit, hedonis, besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan hati, emosi, dan nurani. Tidaklah mengherankan jika kasus-kasus yang merugikan negara, KKN, misalnya, justru sering melibatkan orang-orang berdasi yang secara formal berpendidikan tinggi. Ini artinya, secara implisit, model pendidikan kita selama ini setidaknya telah memiliki andil terhadap merajalelanya ulah KKN yang menyebabkan negara kita tergolong sebagai salah satu negara di dunia yang cukup tinggi tingkat korupsinya.
Sementara itu, model pendidikan yang lebih memacu kecerdasan otak ketimbang emosi dinilai juga telah menimbulkan masalah tersendiri di lapisan masyarakat akar-rumput. Pendidikan dasar dan menengah yang idealnya mampu menjadi basis penyemaian dan penyuburan nilai-nilai luhur baku dan hakiki kepada siswa didik, menjadi sangat tidak berdaya akibat tidak relevannya antara tuntutan kurikulum dan kondisi lokal.
Bobot kurikulum yang telah dikemas secara monolitis dan sentralistis telah menyebabkan nilai-nilai kearifan lokal tidak bisa berkembang. Para peserta didik “dipaksa” menerima cekokan materi dan pengetahuan kognitif yang sangat jauh dengan pengalaman dan kenyataan mereka sehari-hari. Akibatnya, mereka menjadi kehilangan ruang berkreasi, kemerdekaan berprakarsa, dan mengembangkan jatidirinya. Bahkan, bukan tidak mungkin mereka justru terjebak dalam atmosfer pendidikan yang kaku, membosankan, dan tanpa gairah. Suasana pendidikan yang kurang kondusif semacam itu jelas mengingkari makna dan hakikat pendidikan dalam memanusiakan manusia, membentuk manusia yang berpikir dan berjiwa merdeka, bebas dari tekanan dan paksaan.
Makna pendidikan yang hakiki merujuk pada sebuah kondisi yang mampu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jatidirinya melalui sebuah proses yang menyenangkan, terbuka, tidak terbelenggu dalam suasana monoton, kaku, dan menegangkan. Diakui atau tidak, pendidikan kita selama ini belum sanggup melahirkan generasi yang utuh jatidirinya. Mereka memang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, nilai-nilai kesalehan, baik individu maupun sosial, menjadi sirna.
Atmosfer pendidikan yang kurang kondusif semacam itu diperparah dengan situasi lingkungan yang serba permisif, apatis, dan masa bodoh. Pada sisi yang lain, institusi keluarga yang mestinya menjadi penanam nilai-nilai religi, kultural, dan kemanusiaan, dinilai juga telah tereduksi oleh berbagai kesibukan orang tua dalam memburu standar hidup dan gebyar materi. Persoalan pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan formal.
Beranjak dari konteks ini, memang tidak berlebihan kalau ada yang menilai bahwa maraknya konflik horisontal di berbagai penjuru tanah air seperti yang pernah, bahkan sering kita saksikan, salah satu penyebabnya ialah gagalnya institusi pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai pencetak generasi yang utuh lahir dan batin. Dunia pendidikan dinilai hanya sarat muatan kognitif, teoretis, dan penalaran, tanpa menyentuh aspek-aspek humaniora. Persoalan-persoalan moral dan budi pekerti menjadi luput dari perhatian. Lahan pendidikan humaniora dipersempit, bahkan dikepras, sedangkan muatan materi yang mengedepankan akal dan penalaran diberi bobot terlalu berlebihan.
Setelah era reformasi mulai menunjukkan titik terang dalam menguak tabir politik, ekonomi, dan hukum, sudah tiba saatnya untuk mengurai simpul dasar yang memasung tubuh pendidikan kita. Setidaknya, harus ada “kemauan politik” untuk melakukan revitalisasi pendidikan kemanusiaan, yakni pendidikan yang mampu melahirkan generasi yang tinggi tingkat apresiasinya terhadap sikap jujur, adil, demokratis, rendah hati, sederhana, dan kreatif.
Pengalaman selama bertahun-tahun telah memberikan pelajaran berharga bahwa pendidikan yang tidak berbasiskan kemanusiaan hanya akan melahirkan manusia yang cerdas dan terampil, tetapi kehilangan hati nurani dan perasaan. Ini artinya, revitalisasi pendidikan kemanusiaan semakin urgen dan relevan untuk diimplementasikan di tingkat praksis agar tidak terapung-apung dalam bentangan slogan, retorika, dan jargon belaka.
Sungguh terasa ironis kalau bangsa kita yang selama ini dokenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi, mengagungkan keluhuran budi, dan kesantunan berperilaku, akhirnya terjebak menjadi bangsa bar-bar, “kanibal”, dan pendendam, hanya lantaran pendidikan yang salah urus. Agaknya, sudah sangat mendesak dunia pendidikan kita disentuh oleh hal-hal yang bersifat humanistis dan religius.

PEMBELAJARAN EKOSISTEM DI TAMAN SEKOLAH

PEMBELAJARAN EKOSISTEM DI TAMAN SEKOLAH

Pemahaman siswa tentang biologi sebagai ilmu, diasumsikan sebagai ilmu hafalan dan tidak ada manfaatnya dalam kehidupan keseharian.. Anggapan yang timbul karena mereka melihat biologi sebagai ilmu yang banyak mempergunakan bahasa latin sebagai bahasa ilmiah. Juga akibat pengalaman belajar yang bersifat verbalistis dan tidak pernah diajak belajar di luar kelas. Pengalaman belajar di sekolah sebelumnya lebih bersifat tekstual dan lebih menekankan pada penyelesaiaan soal-soal daripada pembelajaran secara praksis. Model pembelajaran yang memisahkan konsep dengan realitas kehidupan sehari-hari, semakin menjauhkan pemahaman hubungan ilmu biologi dengan , alam sekitar dan kehidupan siswa. Suatu kondisi yang kemudian menimbulkan persepsi yang keliru , dan melepaskan relevansi ilmu biologi dengan realitas kehidupan siswa. Suatu pembelajaran verbalistik yang kurang memanfaatkan potensi lingkungan sekitar sebagai sumber belajar yang paling dekat dengan diri anak. Suatu realitas yang tidak dapat diingkari bahwa banyak siswa SMA yang tidak mengenal aneka jenis tanaman hias yang ada di halaman sekolah. Persoalan di atas merupakan persoalan klise yang selalu muncul, karena orientasi pembelajaran yang dilakukan guru tidak pernah mendekatkan siswa dengan lingkungan secara langsung. Suatu pola pembelajaran yang didominasi guru tanpa mempertimbangkan latar belakang, pengalaman, dan lingkungan sekitar siswa. Sehingga siswa hanya berfungsi sebagai obyek, tanpa mampu mengembangkan diri, dan lingkungan sebagai sumber belajar tidak dimanfaatkan secara optimal Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian, berjudul:

Pembelajaran Ekosistem Di Taman Sekolah Untuk Menanamkan Pemahaman Relevansi Biologi Dengan Alam Sekitar
Proses pembelajaran yang menjelaskan konsep kesatuan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Komponen biotik dan abiotik yang saling mempengaruhi. Taman Sekolah, adalah taman artifisial yang ditanam aneka tanaman hias dan pelindung untuk mengindahkan dan menghijaukan lahan di pekarangan sekolah. Pemahaman relevansi biologi dengan alam sekitar, adalah hubungan antara alam ilmu biologi dengan alam sekitar tempat tinggal atau kehidupan nyata sehari-hari, menekankan pentingnya peran manusia dalam melestarikan lingkungan. Kelompok Sindikat adalah pembentukan sindikat di antara siswa untuk memilih anggota kelompok dengan teman yang paling disukai dan dianggap bisa untuk bekerja sama dalam memecahkan masalah atau mendiskusikan permasalahan Studi Kasus.
Relevansi Ilmu Biologi dengan Kehidupan Sehari - hari Pesatnya perkemebangan sains dan teknologi telah banyak memerikan perubahan terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Suatu perubahan yang memberikan berbagai kemudahan bagi manusia, sehingga semuanya bisa dilakukan dengan cepat dan efisien. Perubahan kehiduapn yang menggiring manusia pada perilaku instan dan serba mekanis. Perubahan yang kemudian semakin menjauhkan manusia dari lingkungannya, alam semakin teralineasi dari kehidupan manusia. Sehingga berbagai dampak perubahan alam belakangan ini menimpa kehidupan manusia. Suatu peringatan yang meminta manusia untuk introspeksi diri mengenai hubungan dirinya dengan alam. Maka, dalam kondisi demikian itu, ilmu biologi memiliki peranan untuk mengaktualisasikan relevansi antara manusia dengan lingkungannya. Pembelajaran biologi menyangkut proses belajar yang berkaitan dengan makhluk hidup dengan lingkungannya. Suatu proses pembelajaran yang selalu berhubungan dengan aktivitas kehidupan nyata.De Porter (2000:5) menjelaskan bahwa interaksi dari berbagai macam momen di sekitar mencakup unsur-unsur belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional, berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warna negara yang demokratis dan bertanggungjawab.Untuk mencapai ke arah tujuan pendidikan nasional tersebut, secara mikro setiap proses pembelajaran tidak hanya mengembangkan kemampuan aspek kognitif, tetapi juga mengembangkan kecakapan aspek efektif dan psikomotorik. Selanjutnya akan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual secara berimbang. Proses pembelajaran biologi sebagai kegiatan mikro dalam kerangka mencapai tujuan nasional, harus bertumpu kepada upaya-upaya untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air, dan iklim belajar serta diharapkan dapat menumbuhkan rasa percaya diri , sikap dan perilaku inovatif dan kreatif. Pada gilirannya pendidikan akan mampu mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan bertanggungjawab Hadiat (1998/1999:5), menjelaskan bahwa tujuan dan fungsi pembelajaran biologi di SMA, agar siswa memahami konsep-konsep biologi dan keterkaitannya serta mampu menggunakan metode ilmiah yang dilandasi sikap ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya sehingga menyadari akan kebesaran dan kekuasaan penciptanya. Johar (1990), menjelaskan pemanfaatan lingkungan lokal merupakan pendekatan sosialisasi anak didik terhadap obyek dan persoalan biologi di lingkungan anak didik. Pada gilirannya mereka mampu menyatu dengan lingkungannya, menyatu dengan ekosistemnya. Sisoalisasi sejak dini dengan memanfaatkan lingkungan lokal dengan alam dan budaya setempat kepada anak didik akan menuju terwujudnya manusia Indonesia yang cinta tanah air, berkepribadian dan berkesadaran nasional. Sekaligus dapat menumbuhkan pemahaman mengenai relevansi antara ilmu biologi dengan lingkungan alam, dan kehidupan sehari-hari.
Yang saling asah, silih asih, dan silih asuh antara sesama siswa sebagai latihan hidup dalam masyarakat nyata. Bruner (Siberman, 2000:8) mendeskripsikan belajar secara bersama merupakan kebutuhan manusia yang mendasar untuk merespon yang lain dalam mencapai suatu tujuan. Suatu reciprocity yang merupakan sumber motivasi yang setiap pengajar dapat menjalankan stimulasi untuk belajar. pembentukan kelompok sindikat, merupakan suatu variasi dari pembelajaran kooperatif dengan memberikan pilihan bagi siswa untuk menentukan anggota kelompoknya sendiri yang dianggap bisa bekerjasama dalam menyelesaikan suatu persoalan yang dihadapinya.
Kesalahan persepsi siswa mengenai hubungan biologi dengan alam lingkungan sekitar disebabkan pengalaman belajar siswa yang diperoleh sebelumnya bersifat verbalistik Melalui pembelajaran secara kongkrit, dengan memberikan pengalaman belajar di taman sekolah dengan membentuk sindikat serta mempelajari studi kasus, dapat mnenciptakan suasana belajar lebih riang, santai, dan menyegarkan. Serta mampu menanamkan pemahaman konsep ekosistem yang mengaitkan biologi dengan alam sekitar atau kehidupan sehari-hari.
Pengalaman belajar di luar kelas atau taman dapat dilakukan pada beberapa konsep biologi penting untuk dilakukan, sehingga bisa tercipta pembelajaran yang kongkrit dan memberikan suasana pembelajaran yang berbeda bagi siswa. Sekaligus memanfaatkan taman atau kebun sekolah dalam implementasi pembelajaran sehingga memberikan makna yang berarti bagi penglaman belajar siswa; Hal ini penting dilakukan, ketika perbagai teknologi instan semakin mengalineasi anak didik dari lingkungan alam dan sosiobudayanya.

Sabtu, 13 Juni 2009

PENGARUH GLOBAL WARMING TERHADAP KEHIDUPAN
Pengertian Global Warming
Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Penyebab Pemanasan Global
Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.
Efek umpan balik
Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.
Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]
Peternakan (konsumsi daging)
Dalam laporan terbaru, Fourth Assessment Report, yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), satu badan PBB yang terdiri dari 1.300 ilmuwan dari seluruh dunia, terungkap bahwa 90% aktivitas manusia selama 250 tahun terakhir inilah yang membuat planet kita semakin panas. Sejak Revolusi Industri, tingkat karbon dioksida beranjak naik mulai dari 280 ppm menjadi 379 ppm dalam 150 tahun terakhir. Tidak main-main, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi itu tertinggi sejak 650.000 tahun terakhir!
IPCC juga menyimpulkan bahwa 90% gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida, khususnya selama 50 tahun ini, telah secara drastis menaikkan suhu Bumi. Sebelum masa industri, aktivitas manusia tidak banyak mengeluarkan gas rumah kaca, tetapi pertambahan penduduk, pembabatan hutan, industri peternakan, dan penggunaan bahan bakar fosil menyebabkan gas rumah kaca di atmosfer bertambah banyak dan menyumbang pada pemanasan global.[15]
Penelitian yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan bahwa ternyata makin panasnya planet bumi dan berubahnya sistem iklim di bumi terkait langsung dengan gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia.
Khusus untuk mengawasi sebab dan dampak yang dihasilkan oleh pemanasan global, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) membentuk sebuah kelompok peneliti yang disebut dengan Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim atau disebut International Panel on Climate Change (IPCC). Setiap beberapa tahun sekali, ribuan ahli dan peneliti-peneliti terbaik dunia yang tergabung dalam IPCC mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan penemuan-penemuan terbaru yang berhubungan dengan pemanasan global, dan membuat kesimpulan dari laporan dan penemuan- penemuan baru yang berhasil dikumpulkan, kemudian membuat persetujuan untuk solusi dari masalah tersebut .
Salah satu hal pertama yang mereka temukan adalah bahwa beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut. Kebanyakan dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern, pembangkit tenaga listrik, serta pembabatan hutan.
Tetapi, menurut Laporan Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2006 mengungkapkan bahwa, "industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). " Hampir seperlima (20 persen) dari emisi karbon berasal dari peternakan. Jumlah ini melampaui jumlah emisi gabungan yang berasal dari semua kendaraan di dunia! [16][17][18]
Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen karbon dioksida, 37 persen gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2 dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka 100 tahun), serta 65 persen dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih lebih kuat dari CO2). Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam. [19]
Peternakan juga telah menjadi penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air. Saat ini peternakan menggunakan 30 persen dari permukaan tanah di Bumi, dan bahkan lebih banyak lahan serta air yang digunakan untuk menanam makanan ternak.
Menurut laporan Bapak Steinfeld, pengarang senior dari Organisasi Pangan dan Pertanian, Dampak Buruk yang Lama dari Peternakan - Isu dan Pilihan Lingkungan (Livestock's Long Shadow-Environmental Issues and Options), peternakan adalah "penggerak utama dari penebangan hutan .... kira-kira 70 persen dari bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. [20]
Selain itu, ladang pakan ternak telah menurunkan mutu tanah. Kira-kira 20 persen dari padang rumput turun mutunya karena pemeliharaan ternak yang berlebihan, pemadatan, dan erosi. Peternakan juga bertanggung jawab atas konsumsi dan polusi air yang sangat banyak. Di Amerika Serikat sendiri, trilyunan galon air irigasi digunakan untuk menanam pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar 85 persen dari sumber air bersih di Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak juga menimbulkan limbah biologi berlebihan bagi ekosistem.
Konsumsi air untuk menghasilkan satu kilo makanan dalam pertanian pakan ternak di Amerika Serikat
1 kg daging Air (liter)
Daging sapi 1.000.000
Babi 3.260
Ayam 12.665
Kedelai 2.000
Beras 1.912
Kentang 500
Gandum 200
Slada 180
Selain kerusakan terhadap lingkungan dan ekosistem, tidak sulit untuk menghitung bahwa industri ternak sama sekali tidak hemat energi. Industri ternak memerlukan energi yang berlimpah untuk mengubah ternak menjadi daging di atas meja makan orang. Untuk memproduksi satu kilogram daging, telah menghasilkan emisi karbon dioksida sebanyak 36,4 kilo. Sedangkan untuk memproduksi satu kalori protein, kita hanya memerlukan dua kalori bahan bakar fosil untuk menghasilkan kacang kedelai, tiga kalori untuk jagung dan gandum; akan tetapi memerlukan 54 kalori energi minyak tanah untuk protein daging sapi!
Itu berarti kita telah memboroskan bahan bakar fosil 27 kali lebih banyak hanya untuk membuat sebuah hamburger daripada konsumsi yang diperlukan untuk membuat hamburger dari kacang kedelai!
Dengan menggabungkan biaya energi, konsumsi air, penggunaan lahan, polusi lingkungan, kerusakan ekosistem, tidaklah mengherankan jika satu orang berdiet daging dapat memberi makan 15 orang berdiet tumbuh-tumbuhan atau lebih.
Marilah sekarang kita membahas apa saja yang menjadi sumber gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
Anda mungkin penasaran bagian mana dari sektor peternakan yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Berikut garis besarnya menurut FAO:[21]
1. Emisi karbon dari pembuatan pakan ternak
a. Penggunaan bahan bakar fosil dalam pembuatan pupuk menyumbang 41 juta ton CO2 setiap tahunnya
b. Penggunaan bahan bakar fosil di peternakan menyumbang 90 juta ton CO2 per tahunnya (misal diesel atau LPG)
c. Alih fungsi lahan yang digunakan untuk peternakan menyumbang 2,4 milyar ton CO2 per tahunnya, termasuk di sini lahan yang diubah untuk merumput ternak, lahan yang diubah untuk menanam kacang kedelai sebagai makanan ternak, atau pembukaan hutan untuk lahan peternakan
d. Karbon yang terlepas dari pengolahan tanah pertanian untuk pakan ternak (misal jagung, gandum, atau kacang kedelai) dapat mencapai 28 juta CO2 per tahunnya. Perlu Anda ketahui, setidaknya 80% panen kacang kedelai dan 50% panen jagung di dunia digunakan sebagai makanan ternak.7
e. Karbon yang terlepas dari padang rumput karena terkikis menjadi gurun menyumbang 100 juta ton CO2 per tahunnya
2. Emisi karbon dari sistem pencernaan hewan
a. Metana yang dilepaskan dalam proses pencernaan hewan dapat mencapai 86 juta ton per tahunnya.
b. Metana yang terlepas dari pupuk kotoran hewan dapat mencapai 18 juta ton per tahunnya.
3. Emisi karbon dari pengolahan dan pengangkutan daging hewan ternak ke konsumen
a. Emisi CO2 dari pengolahan daging dapat mencapai puluhan juta ton per tahun.
b. Emisi CO2 dari pengangkutan produk hewan ternak dapat mencapai lebih dari 0,8 juta ton per tahun.
Dari uraian di atas, Anda bisa melihat besaran sumbangan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari tiap komponen sektor peternakan. Di Australia, emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan lebih besar dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Dalam kurun waktu 20 tahun, sektor peternakan Australia menyumbang 3 juta ton metana setiap tahun (setara dengan 216 juta ton CO2), sedangkan sektor pembangkit listrik tenaga batu bara menyumbang 180 juta ton CO2 per tahunnya.
Tahun lalu, penyelidik dari Departemen Sains Geofisika (Department of Geophysical Sciences) Universitas Chicago, Gidon Eshel dan Pamela Martin, juga menyingkap hubungan antara produksi makanan dan masalah lingkungan. Mereka mengukur jumlah gas rumah kaca yang disebabkan oleh daging merah, ikan, unggas, susu, dan telur, serta membandingkan jumlah tersebut dengan seorang yang berdiet vegan.
Mereka menemukan bahwa jika diet standar Amerika beralih ke diet tumbuh-tumbuhan, maka akan dapat mencegah satu setengah ton emisi gas rumah kaca ektra per orang per tahun. Kontrasnya, beralih dari sebuah sedan standar seperti Toyota Camry ke sebuah Toyota Prius hibrida menghemat kurang lebih satu ton emisi CO2.
Mengukur pemanasan global


Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali. [22]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat besar.
Model iklim


Prakiraan peningkatan temperature terhadap beberapa skenario kestabilan (pita berwarna) berdasarkan Laporan Pandangan IPCC ke Empat. Garis hitam menunjukkan prakiraan terbaik; garis merah dan biru menunjukkan batas-batas kemungkinan yang dapat terjadi.


Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.
Dampak pemanasan global
Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.
Iklim Mulai Tidak Stabil
Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[29]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.
Peningkatan Permukaan Laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.
Suhu Global Cenderung Meningkat
Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.
Gangguan Ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.
Dampak Sosial Dan Politik
Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climat change)yang bis berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
Pengendalian pemanasan global
Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.
Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida sama sekali.
Persetujuan internasional
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.